Coret Indonesia dari daftar negara berkembang, ini maksud terselubung Amerika

Auto Draft

KONTAN.CO.ID – WASHINGTON. Pada pekan lalu, Amerika Serikat mencabut status negara berkembang dari sejumlah negara. Melansir South China Morning Post, secara total, ada 25 negara dari Benua Eropa hingga Afrika yang dicabut dari status negara berkembang.

Adapun negara-negara yang dikeluarkan dari daftar negara berkembang tersebut antara lain: Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, dan China. Kemudian ada Kolombia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, India, Indonesia, Kazakhstan, dan Republik Kirgis.

Selain itu, ada pula Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.

Sepertinya, Amerika memiliki maksud tertentu dalam memberlakukan kebijakan ini. Dalam kunjungannya ke Davos, Swiss beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump menyebut WTO memperlakukan AS secara tidak adil.

“China dipandang sebagai negara berkembang. India dipandang sebagai negara berkembang. Kami tidak dipandang sebagai negara berkembang. Sepanjang yang saya ketahui, kami juga negara berkembang,” keluh Trump seperti yang dikutip South China Morning Post.

Rupanya, hal ini yang kemudian mendorong Trump memberlakukan kebijakan tersebut. Reuters memberitakan pada Minggu (23/2/2020), Trump mengaku jengkel dan merasa AS banyak dirugikan lantaran banyak negara yang pura-pura jadi negara berkembang agar mendapatkan perlakuan istimewa dalam beberapa kesepakatan dagang di WTO.

“WTO itu rusak ketika negara-negara kaya di dunia mengklaim sebagai negara berkembang untuk menghindari aturan-aturan WTO dan mendapat perlakuan khusus. Ini tidak boleh lagi!” tulis Trump lewat akun Twitternya.

Terkait hal itu, AS melalui Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO) memasukkan ke-25 negara tadi sebagai negara maju.

Dalam pemberitahuan yang dikeluarkan pada 10 Februari, USTR mengatakan bahwa pihaknya merevisi metodologi negara berkembang untuk investigasi atas bea balik, sebuah bea yang dikenakan pada impor, karena pedoman negara sebelumnya dianggap sudah usang.

Untuk memperbarui daftar internalnya, USTR mengatakan telah mempertimbangkan beberapa faktor ekonomi dan perdagangan, seperti tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dan bagian negara dari perdagangan dunia.

Misalnya, USTR menganggap negara-negara dengan pangsa 0,5% atau lebih dari perdagangan dunia sebagai negara “maju”. Sedangkan menurut aturan 1998, ambangnya 2% atau lebih.

Melansir People’s Daily, USTR juga tidak memasukkan indikator pembangunan sosial seperti tingkat kematian bayi, tingkat buta huruf orang dewasa dan harapan hidup saat lahir, sebagai dasar untuk mengubah penunjukan.

Yang paling penting lagi, penghapusan negara-negara ini dari daftar internal negara-negara berkembang akan membuat AS lebih mudah untuk menyelidiki apakah negara-negara ini secara tidak adil melakukan subsidi ekspor.

 

Sumber: People’s Daily,South China Morning Post,Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie