Jepang menjadi negara yang sangat berminat terhadap produk biomass kelapa sawit seperti tandan kosong, cangkang kelapa sawit, dan pelet batang sawit. Penggunaan biomass ditujukan memenuhi kebutuhan listrik di negara tersebut sebagai bagian mengurangi pengeluaran emisi.
Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) menjelaskan pelaku industri di Jepang sangat tertarik untuk mengimpor bahan-bahan berupa biomass mulai dari cangkang kelapa sawit, tandan kosong dan juga pelet batang kelapa sawit. Kebutuhan ini terungkap dalam Seminar “Biomass Sustainability Criteria for Biomass Electricity Production Requirement of Japanese Feed in Tariff Scheme”, yang diadakan The Association For Overseas Technical Scholarship (AOTS) dan Kementrian Ekonomi, Perdagangan Dan Industri Jepang beserta Kementerian Perekonomian RI.
Dalam seminar tersebut, diceritakan Derom, pemerintah Jepang menguraikan pentingnya bahan bakar biomassa dalam rangka peningkatan produksi listrik di negaranya melalui pengembangan energi baru dan terbarukan. Kebutuhan Jepang ini merupakan peluang bagi Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Melalui program replanting sawit, seperti kata Derom, batang kelapa sawit dapat dijadikan pelet dan kemudian diekspor ke Jepang tentu saja manfaatnya sangat besar bagi program replanting. Saat ini program replanting membutuhkan biaya besar untuk menyingkirkan dan mencincang pohon sawit. “Jika tidak disingkirkan pohon sawit yang ditumbang akan menjadi sarang oryctes ataupun kumbang tanduk yang membahayakan bagi tanaman kelapa sawit muda.”
Tantangan atas kebutuhan biomass sawit adalah permintaan sertifikat kelapa sawit berkelanjutan. Derom menuturkan ekspor cangkang pelet tandan kosong dan juga pelet batang sawit perlu dipenuhi syarat sertifikasi. Untuk itu, pabrik pelet itu harus disertai sertifikat sawit berkelanjutan seperti ISPO. “Saran saya, sistem standardisasi ISPO perlu diperluas untuk mencakup pabrik-pabrik pellet nantinya,” jelasnya.
Menurut Derom, Pohak Jepang hanya akan menerima ekspor pelet tandan kosong ataupun batang sawit yang di dilindungi oleh sertifikat. Sebagai konsekuensinya, standar ISPO harus diperluas untuk mencakup pabrik- pabrik pelet dengan semua kriterianya sebelum kita dapat melakukan ekspor ke negeri matahari terbit itu.
Derom mengatakan Jika batang kelapa sawit dapat dijadikan pelet dan kemudian diekspor ke Jepang tentu saja manfaatnya sangat besar bagi program replanting. Saat ini program replanting membutuhkan biay besar untuk menyingkirkan dan mencincang pohon sawit. Jika tidak disingkirkan pohon sawit yang ditumbang akan menjadi sarang oryctes ataupun kumbang tanduk yang membahayakan bagi tanaman kelapa sawit muda.
Jika ada pengusaha yang membuat pabrik pelet dari batang kelapa sawit dan kemudian mengekspornya tentu akan muncul pengumpul pengumpul batang kelapa sawit yang datang membeli batang sawit ketika petani melakukan replanting. Jadi seperti halnya kebun karet sekarang karena pohon karet dapat dimanfaatkan ketika di penting ada pembeli yang datang untuk menimbang nya dan membayarnya.
Pemerintah Jepang pada tahun 2012 telah mendorong permintaan, dengan impor cangkang sawit hampir tiga kali lipat sejak 2015, menjadi 1,3 juta metrik ton (MT) pada tahun 2018. Impor tampaknya telah melebihi 1,4 juta MT pada tahun 2019.