Tarif Baru PE Sawit Pacu Hilirisasi

JAKARTA, investor.id – Pemerintah menyesuaikan tarif pungutan ekspor (PE) produk kelapa sawit. Tarif baru ditetapkan secara progresif dengan 15 klasifikasi tarif untuk 24 kelompok produk sawit dan turunannya. Tarif PE baru bertujuan untuk memacu hilirisasi, sehingga produk-produk hilir dikenakan tarif lebih rendah dibanding produk hulu atau mentah.

Tarif baru PE sawit dengan besaran maksimum US$ 255 per ton tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 191/ PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas P MK No 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. PMK No 191 diundangkan pada 3 Desember 2020 serta berlaku mulai 10 Desember 2020.

Dalam pasal 3A dinyatakan, tarif pungutan ekspor (PE) sawit ditetapkan berdasarkan batasan lapisan nilai harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Pasal 3B menyebut, harga CPO mengacu pada harga referensi yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdangan.

Dalam aturan tersebut, Kementerian Keuangan menetapkan 15 ambang batas harga CPO atau klasifikasi tarif, dengan kisaran harga US$ 670-995 per ton.

Dalam aturan sebelumnya, PMK No 57 Tahun 2020 yang berlaku 1 Juni 2020, tidak diatur tentang ketentuan ambang batas penentuan PE sawit.

Contoh penetapan PE berdasarkan PMK No 191, jika ambang batas harga CPO di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton, PE untuk komoditas CPO ditetapkan sebesar US$ 55 per ton. Apabila ambang batas di atas US$ 670-695 per ton maka PE yang dikenakan US$ 60 per ton. Jika ambang batas di atas US$ 695 -720 per ton maka PE yang dikenakan US$ 75 per ton.

Demikian seterusnya hingga ambang batas tertinggi di atas US$ 995 per ton, berarti PE untuk komoditas CPO adalah sebesar US$ 255 per ton. Semakin ke hilir produk sawit tersebut maka PE yang dikenakan semakin kecil.

Tahun lalu, periode 1 Oktober hingga 31 Desember, pemerintah membebaskan pungutan ekspor untuk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya guna merangsang ekspor produk sawit.

Pacu Hilirisasi

Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, kelanjutan program B30 menjadi penentu harga CPO tahun depan. Harga CPO pada 2021 bisa US$ 750-850 per ton bila Indonesia memutuskan melanjutkan program mandatori biodiesel 30% (B30). Tapi apabila Indonesia hanya menjalankan program B20, harga CPO hanya di kisaran US$ 600-700 per ton.

Kelanjutan program tersebut juga terkait dengan aturan pungutan ekspor. Menurut Togar, meskipun pemerintah telah menaikkan level PE sawit, karena pasar ekspor masih melemah, maka dana dari PE tersebut belum tentu maksimal dalam mendukung program biodiesel.

Hingga September 2020, Gapki mencatat total ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 24,08 juta ton dengan nilai ekspor mencapai US$ 15,49 miliar. Tiongkok masih menjadi negara tujuan ekspor utama bagi Indonesia. “Pasar ekspor masih melemah,” kata dia.

Sedangkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mendukung kebijakan PE progresif yang baru saja dikeluarkan Kementerian Keuangan.

Terlepas dari kenaikan dan penurunan besaran pungutan, dana hasil PE itu digunakan untuk menutup selisih harga FAME (bahan baku biodiesel) dengan harga minyak fosil. Apabila selisih harganya tidak ditutup berarti pemakaian sawit domestik berkurang dan Indonesia akan kelebihan produksi. Apalagi, saat ini Eropa terus menekan sawit Indonesia sehingga pangsanya menurun dan alternatif untuk menyelamatkannya adalah dengan instrumen fiskal.

“Isu bahwa pungutan sawit hanya menguntungkan pengusaha itu hoaks. Kami dukung dan apresiasi Ibu Sri Mulyani yang pintar membaca situasi. Kenaikan PE ini juga akan mendorong pertumbuhan industri hilir dalam negeri sehingga lebih kompetitif jika dibandingkan negara tetangga,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (4/12/2020).

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan, kebijakan PE sawit progresif yang dikeluarkan Kementerian Keuangan memang menimbulkan banyak opini atau pendapat. Ada yang menyebutkan bahwa jika dana pungutan tersebut digunakan untuk subsidi biodiesel, sebagian besar pengusaha tidak akan setuju karena tidak semua pengusaha kelapa sawit menjadi pengusaha biodiesel.

“Jika dana tersebut digunakan untuk mendukung keberlanjutan industri hulu dan hilir sawit tentu ini sangat bagus. Tujuan pemerintah memang baik mengeluarkan instrumen fiskal untuk mendorong industri sawit nasional,” ungkap Derom.

Derom Bangun menuturkan, dalam membuat kebijakan terkait sawit tentu harus diperhitungkan bahwa hal itu telah menguntungkan industri hulu dan hilir dan tidak memihak kepada satu segmen.

Dalam menjalankan kebijakan PE sawit, pemerintah hendaknya juga fokus pada pengawasan terhadap penyelundupan. Sebab, ketika pungutan yang dikenakan tinggi, hal itu membuka ruang dilakukannya tindakan curang. Apalagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut saat kondisi pandemi seperti sekarang

“Yang pasti, kebijakan tersebut jangan sampai memberatkan petani. Untuk saat ini, tidak masalah jika kebijakan itu dijalankan terlebih dahulu, nantinya ketika di lapangan banyak konflik maka ada ruang revisi,” ujar dia.

Adapun Presiden Direktur ISTA Mielke GmbH Thomas Mielke saat Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020, kemarin, mengatakan, kebijakan levy (pungutan ekspor) Pemerintah Indonesia, menjadi salah satu faktor penentu harga di pasar global. Melalui levy, strategi self financing program mandatori biodiesel sangat berpengaruh terhadap keuntungan produsen di Indonesia.

Analis komoditas dari Godrej International Dorab Mistry juga mengatakan, program biodiesel akan berjalan di 2021 jika kenaikan levy senantiasa disesuaikan dengan harga pasar. Dorab juga mengamini peran kritikal levy terhadap penentuan harga pasar serta permintaan global. (hg)

 

Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)