Uni Eropa Butuh Nikel, Tapi Diskriminasi Sawit Indonesia

WE Online, Jakarta – Dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 11/2019, pemerintah Indonesia telah menetapkan larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020 lalu.

Perlu diketahui, Indonesia merupakan eksportir bijih nikel terbesar di dunia dengan pangsa sebesar 28 persen pada tahun 2019. Di Uni Eropa sendiri, Indonesia telah menjadi eksportir kedua terbesar untuk industri baja kawasan benua biru tersebut.

Data tersebut menunjukkan bahwa Uni Eropa memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap ekspor nikel Indonesia. Terkait hal ini, Uni Eropa telah mengajukan protes dan menggugat Indonesia ke WTO karena mengganggap kebijakan Indonesia tersebut telah menyulitkan industri baja (stainless steel) di kawasan negara tersebut untuk berkompetisi dengan industri baja dunia.

Seperti mengulang kejadian yang sama, apa yang dilakukan oleh Uni Eropa saat ini juga telah dilakukan Indonesia yang mengajukan gugatan ke WTO terkait tiga kebijakan komisi Uni Eropa yaitu RED II ILUC, Delegated Regulation (DR) dan French Fuel Tax pada akhir tahun 2019.

Kebijakan RED II ILUC dan DR menggolongkan minyak sawit sebagai high risk Indirect Land Use Change (ILUC) sehingga penggunaan minyak sawit sebagai feedstock biodiesel Uni Eropa akan dikurangi hingga phase-out pada tahun 2030.

Sementara itu, kebijakan French Fuel Tax yang diberlakukan oleh Pemerintah Perancis memberikan pengecualian pada biodiesel sawit dari skema penurunan tarif pajak pada produksi renewable and sustainable biofuel meskipun minyak sawit yang digunakan sebagai feedstock berasal dari minyak sawit yang sustainable.

Tindakan yang diambil Uni Eropa ini tentunya sangat kontradiktif. Uni Eropa sangat menginginkan nikel Indonesia, tetapi melarang penggunaan minyak sawit di negaranya. Padahal, bijih nikel merupakan hasil tambang yang non-renewable. Sementara, minyak sawit merupakan produk renewable yang memiliki peran dan kemampuan untuk mengonservasi lahan (zat hara) dan fungsi hidrologis, hemat air dan tidak mengancam sumber air, menyerap karbon dan memproduksi oksigen hingga mampu menurunkan emisi melalui pengembangan biofuel sawit.

Tidak hanya itu, alasan Uni Eropa meminta Indonesia untuk tetap mengekspor bijih nikel karena industri ini menjadi sumber pendapatan bagi 30 ribu pekerja langsung dan 200 ribu pekerja tidak langsung. Namun, mereka lupa bahwa kebijakan diskriminasi sawit di Uni Eropa berpotensi merugikan dan menurunkan kesejahteraan 3 juta petani sawit dan 17 juta tenaga kerja tak langsung pada industri sawit di Indonesia.

“Hal ini menunjukkan apa yang dilakukan oleh Indonesia atau Uni Eropa adalah suatu tindakan yang wajar dalam rangka membela kepentingan dalam negerinya. Seharusnya seluruh negara yang melakukan transaksi perdagangan internasional saling bermitra dan bekerjasama untuk memperbaiki tata kelola (misal aspek keberlanjutan) untuk memenuhi preferensi pasar. Namun, banyak sekali kebijakan atau aksi pemerintah dari suatu negara yang justru malah menjatuhkan atau menghambat perdagangan suatu produk dengan menggunakan isu pengalih tertentu,” seperti dilansir dari laman Palm Oil Indonesia. 

Penulis: Ellisa Agri Elfadina

Editor: Alfi Dinilhaq