JAKARTA, SAWIT INDONESIA – TotalEnergies dinilai telah melecehkan kelapa sawit melalui pernyataan Patrick Pouyanné, Chairman and Chief Executive Officer TotalEnergies di Koran La Provence, Senin (5 Juli 2021). Mahendra Siregar, Wakil Menteri Luar Negeri RI, sangat geram dengan kebijakan TotalEnergies yang menghentikan penggunaan minyak sawit mulai 2023. Perusahan dinilai menerapkan standar ganda terhadap kelapa sawit.
“Tidak perlu tunggu 2023, menurut saya sebaiknya dihentikan saja semua ekspor dan pasokan minyak sawit ke Total Energie sekarang. Sehingga produksi mereka di sana juga langsung berhenti,” kata Mahendra dalam sambungan telepon, Senin (5 Juli 2021).
Mahendra menyatakan tidak perlu memasok minyak sawit kepada perusahaan yang menerapkan standar ganda.”Untuk apa terus memasok ke perusahaan seperti ini yang tetap tergantung kepada sawit. Tapi di lain pihak melecehkan sawit juga,” ujar lulusan S2 Ekonomi Monash University, Australia.
Mahendra menegaskan bahwa TotalEnergies tidak perlu menunggu 2023 apabila tidak lagi membutuhkan kelapa sawit. Jika memang berani, sebaiknya langsung hentikan sekarang.
“Jangan biarkan mereka bergantung kepada minyak sawit tapi melecehkan kita. Kalau perlu hentikan pasokan dan ekspor ke perusahaan produsen biodiesel seperti (TotalEnergies) di Uni Eropa,” tegas Mahendra.
Sebelumnya, perusahaan multinasional Prancis di bidang energi, TotalEnergies memutuskan tidak akan menggunakan minyak sawit di Kilang Biorefineri La Mède yang berlokasi di Châteauneuf-les Martigues, Marseille, Prancis. Rencana penghapusan minyak sawit sebagai bahan bakun biofuel akan dimulai pada 2023.
Pernyataan resmi ini diungkapkan Patrick Pouyanné, Chairman and Chief Executive Officer TotalEnergies dalam wawancara dengan Koran La Provence yang terbit Senin (5 Juli 2021).
“Mulai 2023, tidak akan ada lagi minyak sawit di La Mède (Kilang Biorefineri) atau di mana pun perusahaan berada,” ujar Patrick Pouyanné.
Setelah Total bertransformasi menjadi TotalEnergies akhir Mei lalu. Patrick menjelaskan bahwa perusahaan menjalankan sejumlah langkah strategis sebagai bagian pembangunan berkelanjutan. Salah satunya meninjau kembali beberapa kebijakan kontroversial seperti penggunaan minyak sawit.
Dalam sebuah webinar, Mahendra Siregar memaparkan sejak tahun 1995 komoditas sawit telah menerapkan dan menaati hampir 700 jenis sertifikasi, sementara untuk minyak rapeseed, kedelai ataupun minyak matahari hanya 30 sertifikasi dalam periode yang sama. Segala requirement yang telah ditaati melalui beragam sertifikasi tersebut tidak menyelesaikan diskriminasi terhadap sawit.
Menurutnya untuk melawan diskriminasi komoditas sawit terutama kebijakan yang akan mem-phase out komoditas ini oleh Uni Eropa. Saat ini, pemerintah melalui ASEAN melakukan pendekatan holistik untuk membawa komoditas sawit dalam pembandingan minyak nabati yang keberlanjutan melalui studi berbasis ilmiah di ASEAN maupun negara-negara produsen lainnya. Sementara, SDGs menjadi tolak ukur utama dalam mempromosikan pendekatan yang berimbang antara pembangunan ekonomi, kemajuan sosial dan lingkungan hidup.