Begini kata emiten sawit terkait penyesuaian tarif pungutan ekspor

Begini kata emiten sawit terkait penyesuaian tarif pungutan ekspor

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah melakukan penyesuaian tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dengan adanya beleid ini, besaran tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit termasuk minyak sawit mentah atawa crude palm oil (CPO) dan produk turunannya ditetapkan berdasarkan harga CPO referensi Kementerian Perdagangan.

Untuk CPO misalnya, tarif pengutan ekspornya ditetapkan US$ 55 per ton ketika harga CPO berada di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton. Tarif pungutan tersebut kembali meningkat setiap harga CPO mengalami kenaikan sebesar US$ 25 per ton.

Pada posisi rentang harga di atas US$ 670 sampai US$ 695 per ton misalnya, tarif pungutan ekspor CPO ditetapkan sebesar US$ 60 per ton.

Tarif pungutan tersebut kembali naik menjadi US$ 75 per ton pada saat harga CPO berada di atas US$ 695 – US$ 720 per ton dan terus hingga mencapai pungutan tertinggi sebesar US$ 255 per ton ketika harga CPO mencapai di atas US$ 995 per ton.

Kenaikan tarif setiap setiap kenaikan harga CPO juga dijumpai pada produk-produk turunan CPO seperti misalnya crude palm olein, crude palm stearin, palm fatty acid distillate (PFAD), refined bleached and deodorized palm oil (RBDPO), dan lain-lain. Pengenaan tarif baru ini mulai berlaku pada 10 Desember 2020 mendatang, yakni 7 hari setelah PMK Nomor 191 Tahun 2020 diundangkan pada 3 Desember 2020 lalu.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman menjelaskan, penyesuaian tarif layanan pungutan ekspor berdasar pada tren positif harga CPO. Di samping itu, penyesuaian ini juga bertujuan untuk menunjang keberlanjutan layanan dukungan kepada program pembangunan industri sawit nasional.

Layanan yang dimaksud antara lain seperti perbaikan produktivitas di sektor hulu melalui peremajaan perkebunan kelapa sawit hingga penciptaan pasar domestik melalui dukungan mandatori biodiesel.

“Kebijakan ini juga akan terus dilakukan evaluasi setiap bulannya untuk dapat merespon kondisi ekonomi yang sangat dinamis pada saat ini,” ujar Eddy dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id.

Pemberlakukan tarif  pungutan ekspor baru mendapat respon yang positif dari kalangan pelaku industri sawit. Sekretaris Perusahaan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk, Swasti Kartikaningtyas menilai bahwa penyesuaian tarif pungutan ekspor bisa diterima, sebab pemerintah sebelumnya juga telah memberikan keringanan dengan menunda pungutan ekspor saat harga CPO sedang kurang baik pada paruh kedua tahun lalu.

Di sisi lain, dana yang dihimpun dari pungutan ekspor juga dialokasikan untuk membiayai program-program yang mendukung industri sawit secara umum seperti pembinaan kepada petani plasma, penyediaan bibit, dan sebagainya.

“Walaupun istilahnya tidak langsung kembali ke perusahaan, tetapi kembali kepada industri sawit secara keseluruhan. Itu membuat kekuatan kestabilan untuk industri sawit sendiri,” kata Swasti saat  dihubungi Kontan.co.id, Senin (7/12).

Diakui Swasti, pemberlakukan tarif baru memang diperkirakan memiliki dampak pada penjualan ekspor perusahaan. Maklumlah, selain melakukan penjualan di domestik, emiten sawit berkode saham “SSMS” ini juga melakukan penjualan ekspor CPO ke beberapa negara seperti China, India, Pakistan, dan Bangladesh.

Meski demikian, dampak yang timbul diperkirakan tidak akan signifikan, sebab mayoritas CPO perusahaan dijual ke pihak sister company, yakni PT Citra Borneo Utama (CBU). “Porsi penjualan ekspor kami kurang lebih hanya sekitar 15%-20%,”ujar Swasti.

Dihubungi terpisah, Sekretaris Perusahaan PT Mahkota Group Tbk (MGRO) Elvi mengungkapkan, bahwa pemberlakuan tarif pungutan ekspor baru bisa membuat biaya ekspor meningkat tajam. Meski begitu, perusahaan mendukung penyesuaian tarif pungutan ekspor baru yang diterbitkan pemerintah.

“Dengan naiknya harga (CPO) global tentunya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menaikkan pungutan yang pada akhirnya juga akan menjadi dana untuk keberlanjutan sektor kelapa sawit di negara kita,” kata Elvi kepada Kontan.co.id, Jumat (4/12).

Lebih lanjut, Elvi mengatakan bahwa MGRO akan tetap melakukan penjualan ekspor dengan memperhatikan permintaan dan analisis hargra CPO global serta perkembangan kurs terkini. Asal tahu saja, saat ini MGRO melakukan penjualan ekspor untuk produk RBDPO dan CPO.

Penjualan CPO menyasar Malaysia dan Singapura. Porsi kontribusinya mencapai 0,5% dari total penjualan CPO perusahaan per Oktober 2020. Sementara itu, penjualan RBDPO perusahaan menyasar negara-negara tujuan seperti India, Malaysia, dan lain-lain. Porsi kontribusi ekspor RDBPO MGRO mencapai  17% dalam total penjualan RBDPO perusahaan per Oktober 2020.

“Perseroan akan berusaha menyeimbagnkan penjualan pada pasar lokal dan ekspor sehingga tidak akan meningkatkan cost yang memengaruhi keuntungan,” kata Elvi.

Sementara itu, Senior Vice President of Corporate Communication & Public Affair PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), Tofan Mahdi menyampaikan bahwa perusahaan mendukung kebijakan penerapan pengembangan industri sawit nasional pemerintah. Hanya saja, Tofan mengaku belum bisa menaksir dampak penerapan tarif pungutan baru terhadap penjualan ekspor perusahaan.

“Kebijakan tersebut baru diberlakukan, perlu waktu untuk menganalisis dampaknya,” kata Tofan saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (7/12).

Sedikit informasi, AALI memang melakukan penjualan ekspor untuk produk-produk olahan minyak sawit seperti misalnya olein dan stearin. Target pasarnya meliputi negara-negara seperti seperti India, China, Bangladesh, Singapura, dan lain-lain.