Berikut Dampak Negatif Regulasi Pemerintah yang Pengaruhi Harga TBS Sawit Petani

Auto Draft

InfoSAWIT, JAKARTA – Secara umum, regulasi yang diterapkan Pemerintah Indonesia, akan langsung berdampak terhadap perdagangan minyak sawit di Indonesia. Adanya kebijakan pajak dan pungutan tinggi, secara langsung akan menjadi alasan kuat (bumper) bagi pedagang besar dalam menawar harga CPO. Alhasil, penekanan harga jual ini, akan menjadi besaran diskon yang dinikmati pedagang besar dalam pembelian CPO asal Indonesia.

Penekanan harga tersebut, secara langsung akan diturunkan bebannya oleh pedagang besar kepada pedagang kecil hingga ke produsen terkecil yang menghasilkan bahan bakunya yaitu TBS. Alhasil, petani kelapa sawit akan menanggung beban pajak dan pungutan sawit yang dikenakan pemerintah.

Sebagai contoh : Pengenaan Pajak (BK) dan Pungutan Ekspor (PE/dana CSF) yang dikenakan pemerintah pada Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO, yang ditetapkan Kementerian Perdagangan RI, menjadi rujukan dari BK dan PE yang ditetapkan Kementerian Keuangan RI.

HPE dari CPO, ditetapkan pemerintah, berdasarkan harga referensi yang didapat dari pasar global selama 1 (satu) bulan sebelumnya, dimana harga rata-rata selama sebulan, dijadikan referensi dari HPE. Data harganya, bersumber kepada harga CIF Rotterdam yang berada di Negara Belanda.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 95 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar, dimana besaran HPE CPO ditetapkan.

Harga referensi produk crude palm oil (CPO) untuk penetapan Bea Keluar (BK) periode Desember 2020 adalah US$ 870,77/MT. Harga referensi tersebut meningkat 11,35% atau ada kenaikan sebesar US$ 88,74 dibanding periode November 2020 yang hanya mencapai US$  782,03/MT.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 166/PMK.010/2020, merujuk pada kolom 4 lampiran II Huruf C, maka Tarif BK sebesar US$ 33/Ton, jauh meningkat dari pengenaan tarif BK pada periode November 2020 sebesar US$ 3/Ton.

Ditambah pungutan ekspor berdasarkan PMK No. 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, terkena tarif sebesar US$ 180/Ton.

Jadi berdasarkan kedua PMK tersebut, maka BK dan Tarif BPDP-KS (PE) yang dipungut dari CPO sebesar US$ 213/Ton. Jika dibandingkan dengan HPE CPO sebesar US$ 870/Ton, maka pemerintah mengambil keuntungan sekitar 25% dari harga jual CPO yang ditetapkannya.

Secara nyata, besaran BK dan PE yang diterapkan Kementerian Keuangan RI, akan menjadi bumper bagi pedagang besar hingga kecil untuk menekan harga CPO hingga TBS yang dihasilkan petani kelapa sawit. Lantaran, adanya BK dan Pungutan akan menjadi kekuatan baru sebagai posisi tawar pedagang dalam membeli CPO. Alhasil harga jual TBS juga akan mengalami penurunan.

Mengacu kepada Adam Smith, seorang ahli ekonomi, dalam Hukum Penawaran menjelaskan, adanya pengaruh pajak terhadap penawaran harga produk yang akan dibeli. Sebab, pada dasarnya, hukum penawaran terkait dengan harga produk, dan sejalan dengan prospek jumlah produknya. Jika harga produk naik, maka jumlah produk yang ditawarkan juga meningkat. Namun, harga produk yang turun membuat jumlah barang yang tersedia juga akan turun, sehingga penawaran dan permintaan akan menemukan titik ekuilibrium yang baru.

BK dan PE yang dibebankan pemerintah, dapat mengubah harga barang, sehingga berakibat kuantitas produk yang dikonsumsi akan menurun. Pengenaan pajak, akan menggerakan pasar ke ekuilibrium baru, dimana harga barang yang dibayar oleh pembeli meningkat dan harga yang diterima oleh penjual menurun.

Pengenaan pajak tidak bergantung kepada pembeli atau penjual, lantaran pajak akan dibebankan sebagian besar kepada sisi pasar yang kurang elastis, karena memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk menanggapi pajak dengan mengubah jumlah yang dijual atau dibeli. Jelasnya, petani kelapa sawit menjadi sisi pasar yang kurang elastis karena tidak memiliki kemampuan terhadap kondisi yang terjadi.

Sebagai informasi, pengenaan pajak dan pungutan tinggi akan produk CPO, secara langsung akan berdampak positif terhadap murahnya bahan baku bagi industri hilir, termasuk industri biodiesel. Namun, murahnya harga minyak sawit, tidak juga akan berdampak positif akan daya saing produk biodiesel, lantaran persaingan produk biodiesel, masuk dalam golongan minyak bahan bakar dari minyak bumi, yang sedang mengalami penurunan harga.

Secara nyata, BK dan PE yang diambil Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), memang akan menjadi pendapatan negara. Namun, dampak negatif akan dirasakan kedepannya, lantaran ketersediaan produk akan menurun dan permintaan akan pula menurun, sehingga harga produk akan kembali turun. Alhasil, petani kelapa sawit merugi dan pemerintah juga tidak akan memperoleh pendapatan. (Penulis: Ignatius Ery Kurniawan/Sekretaris Eksekutif APOLIN Periode 2003-2010/Sekretaris III DMSI periode 2009/Pimred InfoSAWIT)