Jakarta, CNBC Indonesia – Harga komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) anjlok signifikan di sepanjang kuartal pertama tahun 2020. Ketegangan hubungan antara India dengan Malaysia, merebaknya wabah virus corona hingga gejolak politik Negeri Jiran menjadi pemicunya.
Pada awal tahun, harga CPO kontrak pengiriman 3 bulan di Bursa Malaysia Derivatif (BMD) masih berada di level tertingginya sejak Januari 2017 di kisaran RM 3.100/ton. Kenaikan tajam harga CPO terjadi sejak pertengahan Oktober 2019.
Kala itu, lonjakan signifikan harga CPO dipicu oleh kekeringan panjang di Malaysia, Indonesia dan Thailand yang menjadi produsen terbesar kelapa sawit di dunia. Tak hanya itu kabut juga menjadi faktor yang menurunkan produktivitas di berbagai perkebunan di Indonesia dan Malaysia.
Peningkatan permintaan domestik di tengah ancaman penipisan pasokan membuat harga CPO melejit. Namun pada awal tahun ini, harga CPO cenderung turun. Pada Januari China dan Amerika Serikat (AS) menandatangani kesepakatan dagang pertama mereka.
Saat perang dagang China banyak mengalihkan pembelian minyak nabatinya ke Malaysia dan Indonesia. Tak hanya kesepakatan dagang interim Washington-Beijing yang jadi ancaman menurunnya permintaan terhadap minyak sawit.
Namun pada awal Februari, harga CPO sempat melonjak signifikan karena isu pasokan yang kian tipis, apalagi China usai menghadapi badai African Swine Fever yang menyerang komoditas ternak mereka.
Ini masih jadi sentimen positif untuk harga CPO yang juga tertekan akibat ketegangan hubungan bilateral antara Mahathir Mohamad & Narendra Modi. Sejak Oktober tahun lalu sebenarnya hubungan keduanya mulai tidak harmonis.
Corona, Konflik India-Malaysia dan Mundurnya Mahathir Picu Anjloknya Harga CPO
Pemicunya adalah kritik pedas dari Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang mengatakan India telah menduduki dan menginvasi Jammu dan Kashmir yang merupakan daerah konflik antara India & Pakistan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Tak sampai di situ saja, Mahathir juga mengkritik Undang – Undang Kewarganegaraan India yang dinilai anti-Islam.
India pun dibuat geram karena merasa urusan dalam negerinya dicampuri. Sempat beredar kabar India mengambil langkah retaliasi dengan memboikot minyak sawit Malaysia. Walau tidak ada arahan resmi dari pemerintah, tetapi para pelaku industri di India mendapat imbauan informal untuk tidak membeli minyak sawit dari Negeri Jiran.
Akibatnya ekspor minyak sawit Malaysia ke India anjlok signifikan. Puncaknya pada Februari lalu di mana ekspor minyak sawit ke negeri Bollywood ambles 91% dari level tertingginya sejak lima tahun terakhir menjadi 29.269 ton. Padahal rata-rata impor minyak sawit India dari Malaysia mencapai 200.000 ton/bulan.
Industri kelapa sawit Negeri Jiran pun harus merasakan getir pahit dari ketegangan hubungan keduanya. Sebagai ganti Malaysia terus berupaya mencari pasar baru untuk mengganti hilangnya pangsa pasar di India.
Awal Februari harga CPO juga sempat diterpa angin segar bahwa Pakistan melalui Perdana Menterinya berjanji untuk membeli minyak sawit dari Malaysia lebih banyak sebagai bentuk tindakan solidaritas antar negara yang mayoritas penduduknya muslim.
Selama ketegangan berlangsung, India beralih membeli minyak sawit dari Indonesia dan sebagian lain beralih ke minyak nabati jenis lain seperti minyak kedelai. Kenaikan harga CPO ternyata tak berlangsung lama seiring dengan terus meluasnya wabah COVID-19 di China dan di berbagai belahan dunia lain.
Harga CPO makin tergerus setelah gejolak politik Negeri Jiran muncul ke permukaan. Pada akhir bulan kedua atau tepatnya pada 24 Februari 2020, Perdana Menteri Mahathir Mohamad resmi mengundurkan diri dari jabatannya.
Corona Jadi Pandemi & Lockdown di Berbagai Negara, Harga CPO Makin Tertekan
Gayung bersambut, hal ini direspons positif oleh India. Tindakan ini diambil oleh Perdana Menteri yang baru lantaran industri kelapa sawit Malaysia yang tertekan akibat merosotnya ekspor minyak sawit ke India. Sehingga ketika keduanya kembali akur ada harapan India akan kembali membeli minyak sawit dari India.
Namun ternyata tak semudah itu, para trader di India sudah mulai beralih ke minyak nabati lain lantaran harga minyak sawit sudah mulai mahal. Spread atau selisih antara harga minyak kedelai dan minyak sawit rata-rata di bulan Januari-Februari berada di US$ 53,42, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu di US$ 178,79.
Spread harga yang sudah berada di bawah US$ 100 mengindikasikan bahwa harga minyak sawit sudah terlampau mahal. Jika minyak sawit Malaysia ingin dibeli oleh India, para trader meminta harganya agar lebih rendah.
Namun lagi-lagi sentimen ini tak berlangsung lama, harga CPO ambles lagi seiring dengan lonjakan kasus signifikan yang terjadi di luar China saat kasus di Tiongkok mulai mencapai puncaknya. Pada 11 Maret lalu WHO resmi mendeklarasikan wabah COVID-19 sebagai pandemi global.
WHO menyematkan status pandemi lantaran jumlah kasus bertambah dengan signifikan dan episentrum bergeser ke negara lain yakni Eropa dengan Italia melaporkan jumlah kasus paling banyak.
Italia dan beberapa negara lain mulai meniru langkah China dengan memberlakukan lockdown. Bahkan Italia memberlakukan karantina satu negara. Orang-orang diminta untuk tetap tinggal di rumah. Akibatnya permintaan minyak sawit menjadi terancam makin anjlok signifikan mengingat Eropa juga menyumbang pangsa pasar minyak sawit yang besar bagi Malaysia maupun Indonesia.
Namun, wabah COVID-19 ternyata juga semakin merebak di Malaysia. Hal ini membuat Pemerintah Malaysia memutuskan lockdown pada 17 Maret lalu. Lockdown sempat memicu aksi keberatan dari para pelaku industri di sektor kelapa sawit. Jika aktivitas operasional perkebunan ditutup selama lockdown maka stok kelapa sawit bisa anjlok 1 juta ton lebih.
Sentimen ini sempat membuat harga CPO kembali naik. Namun harga CPO mulai bergerak makin galau setelah India juga memutuskan lockdown selama tiga pekan pada 26 Maret 2020.
Tak bisa dipungkiri, kuartal pertama tahun ini banyak sekali kejadian yang telah dilalui. Mulai dari wabah corona, ketegangan hubungan bilateral antar negara dan juga gejolak politik internal. Akibatnya harga CPO telah anjlok 21,3% pada kuartal pertama tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA