Jakarta, Gatra.com – Kecamuk pikiran orang-orang di Eropa itu semakin hari semakin bisa ditebak. Bahwa karunia ‘tanaman surga’ yang kini seluas 16,38 juta hektar di bumi Nusantara itu ternyata aset luar biasa dunia.
Dibilang aset luar biasa lantaran makin ke sini, semakin banyak orang tahu kalau hasil panen ‘tanaman surga’ itu ternyata bisa dibikin jadi apa saja.
Ini persis seperti apa yang dibilang oleh Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Erliza Hambali dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.
Dan menurut perempuan 58 tahun ini, tak hanya hasil panen yang bisa disulap jadi ragam produk, tapi juga batang, hingga pelepah sawit itu.
Minyak sawit misalnya bisa menjadi sembilan turunan fatty acids, belum lagi Crude Palm Oil (CPO), Palm Kernel Oil (PKO), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO), Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), Olein hingga Stearin.
Semua olahan ini, selain untuk makanan, obat-obatan dan kosmetik, juga bisa dijadikan energi terbarukan generasi kedua, renewable plastik dan yang lain.
Membikin sabun misalnya, kalau pengen bikin sabun yang banyak busanya, tinggal pakai bahan dari PKO. Pengen yang tak berbusa lantaran hanya butuh untuk membersihkan, tinggal pakai C16 atau Palmitolei.
Yang membikin para penghasil Soybean, Rapa (Rapeseed) dan Sunflower makin puyeng, untuk menghasilkan apa yang dibilang Erliza tadi, tak melulu harus bermodal besar dan bermesin raksasa, sebahagian justru bisa digarap oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi .
Itulah makanya kata perempuan kelahiran Padang Sumatera Barat (Sumbar) ini, kalau minyak sawit benar-benar dioptimalkan, maka Indonesia akan bisa ‘menjajah’ dunia.
Apa yang dihamparkan oleh Erliza inilah yang sesungguhnya paling ditakutkan oleh orang-orang di Eropa itu.
Apalagi mereka kayaknya telah mengendus pula bahwa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang dilahirkan oleh Presiden Jokowi 2015 lalu, ternyata bukan ‘orok’ biasa.
Tapi ‘bayi jenius’ yang enggak cuma sekadar menjadi ‘juru bayar’ selisih harga biodiesel versus solar fosil, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), atau promosi soal sawit.
Lima tahun belakangan diam-diam si ‘bayi’ yang punya Komite Penelitian dan Pengembangan (Litbang) ini sudah sibuk menyasar kampus-kampus ternama berisi orang-orang cerdas, untuk sama-sama menghasilkan teknologi yang bisa membikin hasil panen kelapa sawit — ‘tanaman surga’ —itu, enggak lagi mengalir jauh dalam bentuk minyak mentah atau CPO, tapi sudah menjadi olahan-olahan yang bernilai jual lebih tinggi.
Satu persatu, hasil riset itu mulai bermunculan yang antara lain; katalis yang diberi nama ‘merah putih’, bensin, avtur berbahan minyak sawit.
Dan sejak Eddy Abdurrachman menjadi Direktur Utama (Dirut) BPDPKS, hasil riset menjadi usaha komersial semakin gencar saja diupayakan.
Di Kudus, sudah dibangun demo plant berkapasitas seribu liter perhari. Demo plant ini mengkonversi Industrial Vegetable Oil (IVO) (CPO+) menjadi bensin ber Oktan Number tinggi dan identik dengan bensin beremisi rendah bagi mobil racing Formula-1.
“Di Cilacap sudah dibangun pula commercial plant untuk mengkonversi Palm Karnel Oil (PKO) menjadi Avtur,” cerita Plt Direktur Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga kepada Gatra.com, kemarin.
Erliza juga cerita kalau pihaknya sudah bekerja sama dengan BPDPKS untuk mengembangan handsanitizer berbahan gliserol sawit dan handsoap berbahan metil ester sulfonat.
“Ini kami lakukan untuk mempromosikan bahwa sawit bukan hanya untuk makanan dan energi, tapi juga untuk kesehatan. Untuk memproduksi ini bisa kita tumbuhkan UKM-UKM, termasuk untuk membikin sabun transparan, sabun cair hingga sabun padat. Teknologinya sangat sederhana sekali kok. Kalau mau banyak busanya, tinggal tambahkan surfaktan yang banyak busa,” terangnya.
Perlahan, orang kemudian semakin tahu kalau apa yang dilakukan oleh BPDPKS ini ternyata sejalan dengan alur pikir Presiden Jokowi yang pernah bilang begini; “Kalau mengekspor produk itu ya mbok yang bernilai tambah tinggilah, minimalisasi mengekspor Asisten Rumah Tangga (ART), eksporlah tenaga-tenaga kerja yang punya knowledge tinggi- highly skilled,”
Apa yang sudah dihasilkan oleh peneliti yang diajak oleh BPDPKS itu kata Sahat, saat inilah masanya digenjot semua.
“Yang bisa digarap UKM dan koperasi, serahkan kepada mereka, kasi ilmunya, tuntun mereka, buka akses permodalan yang mudah. Lalu yang menjadi garapan korporasi, serahkan kepada mereka. Semua itu sudah bisa dilakukan sekarang, kuncinya sudah kita pegang dan salah satu sumber untuk pengembangan itu bisa berasal dari Pungutan Ekspor (PE) progresif,” Sahat tertawa.
Abdul Aziz
sumber: https://www.gatra.com/detail/news/513637?t=2