Sumsel Tambah Keterlibatan Perusahaan dalam Penetapan Harga TBS

Pemprov Sumatra Selatan bakal menambah jumlah perusahaan perkebunan sawit untuk terlibat dalam penetapan harga tandan buah segar atau TBS yang dijual petani di provinsi itu.

 

Bisnis.com, PALEMBANG – Pemprov Sumatra Selatan bakal menambah jumlah perusahaan perkebunan sawit untuk terlibat dalam penetapan harga tandan buah segar atau TBS yang dijual petani di provinsi itu.

Penetapan harga TBS yang selama ini ditentukan setiap 2 minggu sekali oleh perusahaan, petani dan didampingi pemerintah daerah itu mendapatkan harga yang wajar bagi petani maupun pabrik kelapa sawit (PKS).

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, mengatakan saat ini sudah terdapat 11 perusahaan kelapa sawit yang sudah ikut dalam rapat penetapan harga TBS.

“Sekarang sudah banyak yang replanting sehingga perlu merekrut keanggotaan baru. Ada 10 perusahaan yang kami anggap layak masuk dalam tim penetapan harga,” katanya, Senin (9/3/2020).

Adapun 10 perusahaan baru yang dinyatakan layak dan akan diverifikasi oleh tim teknis dan tim kerja Disbun Sumsel, yakni PT Banyu Kahuripan Indonesia, PT Mahkota Andalan Sawit, PT Golden Blossom Sumatra dan PT Guthrie Peconina Indonesia.

Selanjutnya adalah PT Djuanda Sawit Lestari, PT Dendy Marker Indah Lestari, PT Transpasifik Agro Industri dan PT Pinago Utama. Adapula PT Perdana Sawit Mas dan PT Hamita Utama.

Dia menjelaskan penetapan harga TBS juga untuk menjaga stabilitas harga komoditas di daerah sentra produksi.

“Rapat bersama juga untuk menghindari adanya persaingan yang tidak sehat diantara pabrik pengolahan kelapa sawit,” jelas Rudi.

Dia menjelaskan penetapan harga TBS ditentukan oleh data penjualan CPO, inti nilai indeks K perusahaan kemitraan inti-plasma.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumsel, Slamet, mengatakan harga TBS berdasarkan penetapan cenderung lebih tinggi dibanding harga pasar.

“Harga Disbun [berdasarkan penetapan bersama] biasanya lebih tinggi dan ini dipakai oleh petani plasma kebanyakan,” katanya.

Sementara untuk petani swadaya, kata Slamet, menggunakan harga pasar atau yang tidak dirumuskan bersama perusahaan dan pemerintah.

 

Editor : Ajijah