Pakar: Harusnya Ada Wakil Menteri Khusus Ristek di Kemdikbudristek

Jakarta, Beritasatu.com – Penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi menjadi Kementerian, Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) seharusnya bisa semakin memperkuat riset di perguruan tinggi.

Pakar pendidikan sekaligus Rektor Universitas Al Azhar IndonesiaProf Asep Saefuddin, mempertanyakan langkah pemerintah untuk membangun riset perguruan tinggi setelah pembentukan Kemdikbudristek.

“Untuk meningkatkan hilirisasi riset, maka seharusnya segera ada wakil menteri di Kemdikbudristek yang khusus menangani riset,” kata Prof Asep Saefuddin saat dihubungi Beritasatu.com, Kamis (3/6/2021).

Asep mengatakan Indonesia saat ini membutuhkan lebih banyak riset berbasis kekuatan daerah atau riset untuk penguatan ekonomi daerah. Potensi riset di daerah juga sangat besar, misalnya universitas di Sumatera Utara bisa mengembangkan riset kelapa sawit atau pengembangan tanaman obat oleh universitas di provinsi lainnya.

“Perguruan tinggi jangan melakukan business as usual, tapi harus diberi mandat untuk menghasilkan riset sesuai kekuatan daerah, maka perlu ada wakil menteri khusus menangani itu,” ujar Asep yang juga guru besar statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Institut Pertanian Bogor.

Dia berpendapat, wakil menteri pendidikan, riset, dan teknologi (Wamendikbudristek) yang dipilih jangan menjadi ban serep dari menteri. Sebaliknya, sosok tersebut harus mendapatkan mandat khusus untuk pengembangan riset di perguruan tinggi.

Dia mengatakan Kemdikbudristek bisa menyusun peta kekuatan sumber daya daerah dan memberikan mandatory research (penelitian wajib) kepada perguruan tinggi di setiap daerah.

Asep menambahkan Kemdikbudristek juga bisa melibatkan perusahaan swasta untuk penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) di perguruan tinggi. Dia menyebut komponen sumbangan swasta terhadap biaya R&D saat ini masih sangat kecil yaitu kurang dari 15%, padahal idealnya lebih dari 50%.

“Komponen Biaya R&D dari bisnis swasta di Malaysia sudah sekitar 52%, Thailand sekitar 70%, dan Korea Selatan sekitar 77%. Jadi keikutsertaan bisnis swasta untuk serta membangun R&D di Indonesia masih sangat kecil, maka sudah waktunya mereka turut memikirkan itu,” kata Asep.

 

Sumber: BeritaSatu.com