Jakarta, Gatra.com – Tahun lalu, duit yang habis untuk menghasilkan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau yang dikenal dengan nama Biodiesel, disebut mencapai Rp28 triliun .
Di tahun yang sama, disebut pula kalau sekitar 8,42 juta kilo liter (kl) hasil produksi FAME itu terserap menjadi bahan bakar diesel.
Ini berarti, ada sekitar 26,1 juta kiloliter B30 yang dihasilkan oleh bauran FAME dan solar murni. Sebab, disebut B30 lantaran dari 100% komposisi biosolar yang biasa dijual di pasaran, 30% nya adalah FAME, sisanya solar murni.
Besaran hasil bauran tadilah yang kemudian dipertanyakan oleh Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung.
Sebab menurut lelaki 55 tahun ini, konsumsi bahan bakar diesel dalam negeri di tahun lalu, hanya sekitar 29 juta kl.
Dari total konsumsi itu, sekitar 70% adalah biosolar industri non subsidi atau Non Public Service Obligation (PSO) dan 30% nya adalah bahan bakar subsidi atau PSO.
Lantaran proporsinya semacam itu kata doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, mestinya dana sawit yang bersumber dari hasil pungutan yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hanya dipakai mensubsidi biodiesel PSO yang besarannya hanya sekitar 2,52 juta kl.
“Biosolar Non PSO dijual Pertamina di atas Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel. Apa masih perlu diesel Non PSO disubsidi?” dia bertanya.
Tungkot mencontohkan, harga biodiesel pada bulan ini berada di kisaran Rp9.579, sementara harga solar industri (non PSO) sudah di angka Rp9.800.
“Kalau semua (PSO dan Non PSO) disubsidi, dana sawit akan terkuras habislah dan ini jelas tidak benar. Ini perlu dibuka biar semuanya lebih terang benderang” pintanya.
Terkait pernyataan Tungkot ini, Gatra.com belum mendapat penjelasan detil dari Pertamina maupun Kementerian ESDM.
Hanya saja Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan menyebut bahwa saat ini porsi bahan bakar diesel Non PSO dan PSO hampir sama, PSO berada di kisaran 13 juta kl-14 juta kl.
“FAME yang 8,6 juta kl itu untuk PSO dan Non PSO,” katanya kepada Gatra.com, Minggu (14/2).
Saat ditanya apakah layak Non PSO disubsidi dari dana sawit, Paulus hanya menjawab bahwa,”Semua faktor sudah dipertimbangkan, dan keputusan yang diambil adalah yang paling optimal,” katanya.
Bagi mantan Dirut BPDPKS, Bayu Krisnamurthi, pemberian dukungan pembiayaan biodisel itu bergantung pada filosofi apa yang dianut.
Kalau dukungan pembiayaan itu untuk masyarakat, misalnya BBM bersubsidi, maka non PSO tidak perlu didukung oleh dana sawit.
“Jika dukungan untuk kepentingan diversifikasi energi dan menurunkan emisi bahan bakar, maka non PSO boleh mendapat dukungan dan jika dukungan itu adalah untuk menstabilkan harga CPO, maka perlu dihitung apakah cukup dengan PSO saja atau harus juga dengan Non PSO,” katanya kepada Gatra.com, Minggu (14/2).
Terlepas dari filosofi yang disebut oleh Bayu tadi, sampai hari ini, biodiesel yang hadir membauri solar menjadi B30 dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat banyak, sekitar 41% nya berasal dari hasil keringat para petani kelapa sawit.
Termasuklah dari 2,73 juta hektar kebun petani kelapa sawit yang sampai saat ini diklaim dalam kawasan hutan dan kebun itu terancam tergusur oleh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait perhutanan.
Sisanya berasal dari hasil keringat korporasi sawit, termasuk korporasi sawit yang saat ini juga ikut kelimpungan ulah klaim kawasan hutan, “Tidak ada duit untuk bauran B30 itu dari dana APBN,” ujar sumber Gatra.com di BPDPKS.
Editor: Abdul Aziz
Ada ‘Keringat Petani’ di Biosolar Industri?
https://www.gatra.com/detail/news/503729/info-sawit/ada-keringat-petani-di-biosolar-industri