Kebijakan mandatori biodiesel berdampak terhadap serapan sawit dan harga TBS petani, dan harga TBS penutupan sebelum libur lebaran naik signifikan.
Jakarta (ANTARA) – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai penerapan Program Mandatori B30 (campuran biodiesel 30 persen dan 70 persen BBM jenis solar) sejak 1 Januari 2020 mampu menjaga kestabilan harga tandan buah segar (TBS) sawit petani.
Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat MP Manurung di Jakarta, Jumat, mengatakan program pencampuran CPO ke BBM jenis solar sudah dicanangkan sejak 2008 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32/2008, dengan target B10 pada 2015, lalu meningkat menjadi B20.
Selanjutnya, secara resmi pada 23 Desember 2019 Presiden Jokowi me-launching Program Mandatori B30 yang berlaku efektif per 1 Januari 2020 di seluruh SPBU Indonesia.
“Kebijakan mandatori biodiesel berdampak terhadap serapan sawit dan harga TBS petani, dan harga TBS penutupan sebelum libur lebaran naik signifikan,” ujarnya.
Program Mandatori B30, lanjutnya, menjadi titik nol sejarah mengapa harga TBS oetani sangat terjaga dan Indonesia pun tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengimplementasikan B30.
Menurut dia, implementasi B30 menciptakan double effect yang membuat dunia terpesona, yakni serapan domestik meningkat signifikan serta mengurangi impor solar sebesar bauran tersebut.
Gulat menyatakan ada lima faktor pendorong harga CPO dunia meningkat meskipun saat yang bersamaan ekonomi global melemah seiring Covid-19. Pertama, tingginya serapan CPO Domestik dengan B30 yang mencapai 7,226 juta ton CPO pada 2020 sehingga mengakibatkan kelangkaan CPO dunia dan berlakulah teori ekonomi.
Kedua, dunia tidak bisa lepas dari ketergantungan CPO Indonesia, meskipun banyak negara sebagai penghasil minyak nabati dari tanaman selain sawit, namun efisiensi ekonomisnya 9,8 kali lebih mahal dibanding sawit (jika ditinjau dari penggunaan lahan).
Ketiga, faktanya tangki penimbunan CPO di negara-negara importir CPO Indonesia hanya terisi 30-60 persen dari total kapasitas normalnya karena terjadi kelangkaan CPO dunia, dengan demikian permintaan komoditas tersebut akan terus melaju.
Keempat, terjadi penurunan aktivitas budi daya tanaman penghasil minyak nabati di Eropa dan negara penghasil minyak nabati lain (selain sawit), dampak pandemi COVID-19. Sementara dari hasil survey Apkasindo di 22 provinsi pada 2020) memperlihatkan aktivitas agronomi dan agroindustri kelapa sawit sama sekali tidak terganggu.
Kelima tujuan negara pengimpor CPO Indonesia mendatangkan CPO bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi seperti digaungkan selama ini, tetapi juga untuk kebutuhan biodiesel, bahan bakar lainnya dan resell (menjual kembali).
“Kelima faktor inilah menjadikan harga CPO meningkat drastis. Sesungguhnya tanpa kejadian Pandemi Covid-19 pun harga CPO akan semakin naik. Kata kuncinya serapan domestik CPO Indonesia melalui program biodiesel,” jelasnya.
Menurut Gulat, data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menjelaskan, bahwa produksi CPO Indonesia 2021 akan berada pada kisaran 53,932 juta ton CPO atau tumbuh 4,27 persen dibanding 2020 sebanyak 51,627 juta ton.
Persentase serapan dalam negeri atau domestik 2021 diprediksi 33,04 persen atau 18,504 juta ton CPO dan tujuan ekspor 66,95 persen yakni mencapai 37,01 juta ton.
Struktur pemanfaatan CPO Indonesia untuk kebutuhan domestik antara lain kebutuhan pangan 47,02 persen, kebutuhan industri oleokimia 9,73 persen, dan Campuran Solar (B30) sebesar 43,26 persen.
Gulat mengungkapkan, sebelum diberlakukan B30, harga TBS petani selama 2017, 2018, 2019 pada kisaran Rp700-1200/kg. Tetapi setelah diberlakukan B30 yang didukung dana BPDPKS terhitung mulai Januari 2020, harga TBS petani berada pada level Rp1.800-Rp2.550/kg.
“Kami petani sawit sangat mensyukuri kebijakan Mandatori B30 ini,” ujar kandidat Doktor Lingkungan itu.
Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2021