Jakarta, CNN Indonesia — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi denda penyaluran biodiesel kepada badan usaha senilai Rp1,22 triliun belum masuk ke kas negara. Temuan ini berdasarkan pelaksanaan program biodiesel yang berlangsung pada 2018-2020.
BPK menjelaskan para program biodiesel, Kementerian ESDM telah menetapkan badan usaha bahan bakar nabati (BUBBN) yang mengikuti pengadaan biodiesel dan alokasi volume. Selanjutnya, BUBBN yang telah menandatangani kontrak dengan badan usaha bahan bakar minyak (BUBBM) dan menyalurkan biodiesel akan memperoleh pembiayaan biodiesel dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setelah diverifikasi oleh Kementerian ESDM.
Bila ada realisasi penyaluran yang tidak sesuai, maka Kementerian ESDM berhak memberi sanksi berupa denda hingga pencabutan izin usaha kepada badan usaha. Rupanya, dari hasil verifikasi, Kementerian ESDM menemukan penyaluran biodiesel yang tidak sesuai kriteria pada 2018, sehingga kementerian menjatuhkan sanksi denda senilai Rp821,88 miliar kepada badan usaha yang tidak memenuhi kewajiban penyaluran.
“Namun, belum terdapat pembayaran dari badan usaha. Hal ini mengakibatkan negara belum menerima pendapatan denda sebesar Rp821,88 miliar,” tulis BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020 atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), seperti dikutip CNNIndonesia.com pada Kamis (24/6).
Selanjutnya, Kementerian ESDM juga sudah menemukan potensi denda penyaluran biodiesel kepada badan usaha senilai Rp400,17 miliar pada pelaksanaan program di 2019-2020. Sayangnya, Kementerian ESDM belum menetapkan sanksi tersebut, sehingga badan usaha belum berkewajiban membayar denda tersebut.
Dengan begitu, bila ditotal, maka ada potensi denda penyaluran biodiesel ke badan usaha mencapai Rp1,22 triliun yang seharusnya masuk ke kas negara, tapi belum terealisasi. Atas temuan ini, BPK memberikan rekomendasi agar Kementerian ESDM segera menyelesaikan tagihan denda tersebut.
“BPK merekomendasikan Kementerian ESDM agar memproses sesuai ketentuan atas surat tagihan sanksi administrasi yang telah diterbitkan dengan menyetorkan ke kas negara, dan berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk penetapan pemberian sanksi denda kepada badan usaha untuk periode 2019-2020 untuk selanjutnya disetorkan ke kas negara,” ungkap BPK.
Lebih lanjut, pemeriksaan BPK terhadap penyaluran biodiesel ini merupakan bagian dari rangkaian pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Pemeriksaan juga melihat program sektor sawit lain, seperti penggunaan dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola BPDPKS hingga verifikasi lahan perkebunan sawit oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.
Pada penggunaan dana perkebunan kelapa sawit, BPK melakukan pemeriksaan atas pungutan dan penggunaan dana oleh BPDPKS, PT Pertamina (Persero) selaku BUBBM, dan badan usaha lain yang memproduksi biodiesel. Hasilnya, BPK menyatakan pengelolaan pungutan dan penggunaan dana telah sesuai kriteria, namun ada catatan pengecualian.
Pengecualian muncul karena ada penggunaan dana perkebunan kelapa sawit untuk membiayai kegiatan verifikasi pembayaran selisih harga biodiesel yang tidak sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 61 Tahun 2015 tentang Perhimpunan dan Penggunaan dan Perkebunan Kelapa Sawit.
Kegiatan verifikasi pembayaran selisih harga biodiesel dilakukan oleh lembaga surveyor yang ditunjuk dan didanai oleh BPDPKS. Namun, menurut BPK, hal ini justru membebani keuangan BPDPKS mencapai Rp95,36 miliar.
“BPK merekomendasikan Direktur Utama BPDPKS agar berkoordinasi dengan Dirjen Migas Kementerian ESDM untuk menetapkan kebijakan verifikasi pencampuran sesuai dengan Perpres Nomor 66 Tahun 2018,” terang BPK.
Selain masalah pembayaran kegiatan verifikasi, BPK juga menemukan bahwa penyaluran dana peremajaan perkebunan kelapa sawit oleh BPDPKS ke pekebun penerima dana berlebih sekitar Rp1,79 miliar. Kelebihan penyaluran dana ini terjadi karena ada pekebun penerima dana peremajaan yang teridentifikasi menerima dana peremajaan melebihi ketentuan, yaitu paling luas hanya 4 hektare (ha) per kebun.
Catatan lain dari BPK, yaitu bukti pertanggungjawaban penggunaan dana peremajaan kelapa sawit belum disampaikan secara tertib sesuai batas waktu 14 hari kerja setelah pencairan dana. BPK juga menyatakan aplikasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) online belum dapat memberi informasi penyaluran dana dan realisasi penggunaan secara lebih optimal.
Atas temuan ini, BPK merekomendasikan Direktur Utama BPDPKS agar berkoordinasi dengan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian untuk melakukan verifikasi kembali data luas lahan pekebun yang terindikasi mendapatkan kelebihan dana peremajaan. Lalu, BPDPKS perlu melakukan penagihan kepada kelompok tani (Poktan) jika terdapat kelebihan penyaluran dana, pengembalian dana ke rekening BPDPKS jika terdapat penggunaan dana yang tidak sesuai perjanjian serta menyempurnakan aplikasi PSR online.
Selanjutnya, BPK juga menemukan kelebihan pembayaran pada proses verifikasi luasan lahan dan penerbitan rekomendasi teknis kepada calon penerima dana peremajaan dari BPDPKS yang dilakukan oleh Ditjen Perkebunan Kementan. Dalam verifikasinya, ternyata ada 1.483,04 ha lahan yang tidak valid karena merupakan area perusahaan perkebunan swasta dan kawasan hutan hingga yang tumpang tindih.
Lalu, ada 336 penerima dana yang Nomor Induk Kependudukan (NIK)-nya tidak valid karena tidak ditemukan di data kependudukan Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri.
“Hal ini mengakibatkan indikasi kelebihan pembayaran minimal sebesar Rp19,13 miliar atas lahan yang tidak memenuhi syarat dan penyaluran dana berpotensi tidak tepat sasaran,” kata BPK.
BPK pun merekomendasikan agar Kementan dan BPDPKS segera berkoordinasi untuk memperbaiki data pekebun penerima dana peremajaan.
Terakhir, BPK menemukan bahwa Ditjen Perkebunan Kementan meminta dana ke BPDPKS untuk operasional Tim Peremajaan Sawit Pekebun di kabupaten, kota, provinsi, hingga pusat. Tapi ternyata, pengelolaan dana tidak sesuai peraturan, misalnya penggunaan dana tidak sesuai volume kegiatan yang terukur dan lainnya.
“Selain itu, realisasi penggunaan dana operasional tidak sesuai dengan peraturan pengelolaan keuangan negara, sehingga mengakibatkan terjadinya kekurangan pemungutan pajak, kelebihan pembayaran, dan adanya pengeluaran yang tidak didukung bukti pendukung yang lengkap,” jelas BPK.
Namun, BPK tidak merinci berapa besar kerugian atas temuan ini. BPK hanya merekomendasikan agar Ditjen Perkebunan Kementan memiliki standar biaya kegiatan dan pedoman pertanggungjawaban dana operasional Tim Peremajaan Sawit Pekebun, serta memproses kekurangan penerimaan dan kelebihan pembayaran yang terjadi.
(uli/age)