Cegah Spekulasi, Industri Sawit Desak Pemerintah Segera Umumkan Revisi Pungutan Eskpor

Dengan revisi tersebut, pemerintah tetap menjaga konsistensi agar volume ekspor minyak sawit tertuju pada produk hilir yang bernilai tambah tinggi sesuai arahan Presiden Jokowi.

Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri kelapa sawit masih menantikan keputusan pemerintah terkait rencana revisi Pungutan Ekspor (PE). Keputusan ini perlu cepat diambil supaya tidak terjadi aksi spekulasi dan ambil untung yang akan berdampak kepada industri serta petani.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan bahwa kebijakan baru pungutan ekspor sawit akan memuat sejumlah revisi. Pertama, jumlah kolom disederhanakan jumlahnya dari 15 kolom menjadi 7 kolom.

Kedua, maksimum tarif layanan CPO yang besarannya US$255 per ton bila Harga Patokan Ekspor (HPE) di atas USD 955/ton , akan diturunkan ke level tertentu.

“Dengan revisi tersebut pemerintah tetap menjaga konsistensi agar volume ekspor minyak sawit tertuju pada produk hilir yang bernilai tambah tinggi sesuai arahan Presiden Jokowi,” ujar Sahat, Sabtu (13/6/2021).

Dalam regulasi yang berlaku saat ini, Kementerian Keuangan memberlakukan pungutan ekspor progresif untuk minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 191/PMK.05/ 2020 yang merevisi PMK 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit.

Secara terperinci, besaran pungutan ditetapkan berdasarkan rentang harga yang terdiri atas beberapa lapisan. Pungutan ekspor CPO ditetapkan senilai US$55 per ton ketika harga komoditas tersebut berada di bawah US$670 per ton. Besaran pungutan akan naik US$5 untuk kenaikan pada lapisan pertama lalu naik US$15 untuk setiap kenaikan harga CPO sebesar US$25 per ton pada lapisan selanjutnya.

Artinya, saat harga CPO berada di rentang US$670 sampai US$695 per ton, besaran pungutan menjadi US$60 per ton. Namun untuk lapis harga US$695 sampai US$720 per ton, besaran pungutan menjadi US$75 per ton.

“Kami tentu mengharapkan agar pemerintah dapat segera putuskan kebijakan pungutan ekspor,” kata Sahat.

Adapun harga CPO yang menjadi acuan pengenaan pungutan ekspor ini merujuk pada harga referensi yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.

Untuk Juni, harga referensi yang ditetapkan adalah US$1.223,90 per ton. Harga referensi tersebut meningkat US$113,22 atau 9,25 persen dibandingkan dengan periode Mei 2021, yaitu US$1.110,68 per ton.

Sementara itu, Ketua GIMNI Bernard Riedo mengatakan bahwa pelaku industri menyambut baik apapun keputusan final dari pemerintah. Dia mengatakan rencana revisi sendiri telah mempertimbangkan seluruh masukan dari pelaku industri kelapa sawit kita, baik dari sisi hulu perkebunan dan industri hilir.

Bernard menambahkan bahwa sebaiknya rencana perubahan tarif pungutan ekspor segera direalisasikan agar memberikan kepastian kepada pelaku pasar. Dengan demikian, aksi spekulasi dan ambil posisi dalam transaksi jual beli yang bisa berdampak negatif pada harga bisa dihindari.

Sejak rencana perubahan tarif pungutan mengemuka, dia menyebutkan harga cenderung menunjukan tren penurunan karena permintaan CPO khususnya ekspor menurun. Menurutnya, salah satu faktor pemicu adalah aksi pasar yang menunggu revisi tarif PE yang rencananya lebih rendah.

“Ketidakpastian menyebabkan adanya langkah-langkah wait and see di pasar. Situasi ini sangat disayangkan karena dapat berdampak negatif kepada harga,” ujarnya.

Sebagai informasi, harga tandan buah segar (TBS) di Sumatra Utara turun Rp96 per kilogram menjadi Rp2.399 per kilogram. Di Bursa Malaysia Derivative Exchange, harga CPO untuk pengiriman Agustus 2021 turun 5 persen menjadi RM4.029 per ton.

“Jika revisi ini bisa diputuskan secepatnya tentu dapat memberikan kepastian dalam bertransaksi sehingga menjaga stabilitas harga,” ujarnya.

Editor : Hadijah Alaydrus