JAKARTA, DDTCNews—Beberapa kalangan pengusaha menyambut baik insentif fiskal yang diberikan pemerintah untuk menekan dampak virus corona terhadap sejumlah industri.
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Rachmat Hidayat menilai sejumlah insentif yang diberikan pemerintah cukup membantu industri di tengah mahalnya bahan baku industri saat ini.
Menurutnya, insentif PPh Pasal 25 sebesar 30% dari angsuran yang seharusnya terutang, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, dan percepatan restitusi PPN sangat membantu menambah likuiditas perusahaan.
“Likuiditas tentu terbantu. Lumayan kan, 30% itu akan berguna karena cash sangat dibutuhkan di situasi seperti saat ini,” katanya kepada DDTCNews, Jumat (27/3/2020).
Jenis industri makanan-minuman yang dapat menikmati ketiga insentif itu yakni industri minyak goreng kelapa sawit, serta industri pengolahan susu bubuk dan susu kental.
Insentif juga diberikan kepada industri produk roti dan kue, industri makaroni, mi, dan produk sejenisnya, serta industri bumbu masak dan penyedap masakan.
Rachmat mengatakan sebagian pelaku industri makanan-minuman saat ini masih memiliki stok bahan baku yang cukup karena mengantisipasi lonjakan produksi jelang bulan puasa dan Lebaran.
Namun, beberapa pengusaha lainnya sudah kesulitan mendapat bahan baku karena ketiadaan produksi di China akibat virus Corona, seperti bawang putih dan bawang bombai.
Demikian pula dengan susu sebagai bahan baku produksi susu bubuk dan susu kental. Mengenai keterbatasan bahan baku itu, dia meminta pemerintah mempermudah prosedur izin untuk mengimpornya karena masuk dalam daftar larangan/pembatasan (lartas).
“Hampir 100% bahan produksi makanan-minuman masuk lartas. Izinnya sangat kompleks. Apalagi, harus mengantongi persetujuan bupati/walikota, gubernur, Kementerian Pertanian, hingga Kementerian Perdagangan,” ujarnya.
Rachmat berharap izin impor bahan baku produksi makanan dan minuman dapat dipermudah, sehingga pengusaha akan segera mengimpor bahan baku untuk persiapan memperbesar produksi saat wabah corona berakhir.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengakui insentif pajak akan membantu industri tetap berproduksi meski di tengah wabah, terutama untuk kebutuhan pengemasan makanan.
“Artinya modal yang kita bayarkan untuk pajak bisa diputar untuk pembelian bahan baku. Kalau Agustus sudah recover, kami bisa langsung lari dan pekerja yang diliburkan akan dipekerjakan lagi,” ujarnya.
Meski demikian, Fajar mengeluhkan rantai distribusi produk agak terganggu karena banyak pasar yang tutup. Dia meminta pemerintah membantu pengusaha menyalurkan produk plastik kepada konsumen mereka, terutama produsen makanan skala UMKM.
Dia juga meminta pemerintah menunda membatalkan rencana pengenaan cukai pada plastik. Alasannya, corona menyebabkan kebutuhan plastik meningkat untuk keperluan membungkus makanan atau mengemas barang yang diperdagangkan secara online.
Hal berbeda diutarakan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik Indonesia (Gabel) Ali Subroto. Menurutnya, menuturkan kerugian yang dialami industri tidak bisa tertutupi oleh insentif fiskal.
Ali mengilustrasikannya dengan sebuah perusahaan beromzet Rp100 miliar per tahun dan keuntungan bersihnya Rp2,5 miliar. PPh Pasal 25 badan yang harus dibayarkan dengan tarif 25% adalah Rp625 juta. Jika ada fasilitas penundaan PPh Pasal 25 sebesar 30% selama 6 bulan, nilainya hanya Rp93,75 juta.
Belum lagi, jika industri tersebut mengalami penurunan penjualan karena virus Corona. Dalam usaha elektronika, industri yang omzetnya turun 50%, apalagi yang penjualannya terhenti, bisa mengalami kerugian 1% dari omzet setiap bulannya. Dengan ilustrasi Ali, berarti nilainya Rp1 miliar per bulan.
Lalu pada saat bersamaaN, industri tetap harus menanggung biaya operasional dan bunga kredit setiap bulannya. “Jadi insentif fiskal itu tidak efektif,” ujarnya.
Ali menilai fasilitas yang dibutuhkan asosiasi adalah kelonggaran kredit dari perbankan, sehingga industri bisa mendapat tambahan likuiditas guna mengatasi penjualan atau tagihan yang macet, serta menambal pengeluaran yang besar seperti gaji karyawan. (rig)