JAKARTA – Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi mendukung langkah PT Pertamina (Persero) yang meminta pemerintah menerapkan patokan harga untuk minyak kelapa sawit di dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Namun permintaan DMO CPO, menurutnya sebaiknya tidak dilakukan sekarang karena harga sawit sedang terpuruk di tengah larangan ekspor ke UNI Eropa (UE).
“Saya kira kalau permintaannya sekarang itu terlalu dini karena harga sawit masih terpuruk disebabkan larangan ekspor oleh Uni Eropa. DMO CPO bisa dilaksanakan kalau harganya memang dirasa sudah tepat,” kata dia saat dihubungi SINDO, di Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Tidak hanya itu, permintaan DMO juga harus memperhitungkan struktur harga supaya tidak merugikan industri sawit. Di sisi lain, pihaknya juga meminta kepada Pertamina untuk mencari partner investasi membangun green refinery untuk mengolah B100. Pasalnya, pembangunan kilang hijau tersebut membutuhkan teknologi terkini sehingga memerlukan investasi cukup besar yang dikhawatirkan akan membebani kinerja Pertamina.
“Jadi lebih baik Pertamina mencari partner investasi lagi setelah batal kerja sama dengan ENI. Partner bisa dari Amerika Serikat atau China yang mempunyai teknologi green refinery,” kata dia.
Hal senada juga dikatakan Anggota DPR Komisi VII Mulyanto yang mengungkapkan, permintaan harga khusus CPO dalam negeri oleh Pertamina belum waktunya. Alasannya karena Pertamina baru menjalankan mandatori B30 dan harga sawit juga masih rendah menyusul diterapkannya larangan eskpor CPO ke UE.
“DMO okelah karena menjadi sebuah jalan keluar namun belum waktunya karena masih menjalankan program B30. Nanti kalau sudah 100% sudah sepantasnya pemerintah menjamin keberlangsungan CPO di dalam negeri,” ujar Mulyanto.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Kanya Lakshmi Sidarta saat dihubungi via telepon ataupun pesan singkat tidak menjawab terkait permintaan harga khusus CPO oleh Pertamina kepada pemerintah.
Sebelumnya Pertamina menyatakan telah siap menjalankan uji coba B100 pada pertengahan tahun depan dengan kapasitas mencapai 6 ribu barel per hari (bph). Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengutarakan, produksi B100 rencananya akan dilakukan di Kilang Plaju dan Kilang Cilacap dengan total investasi mencapai USD600 juta.
Adapun produksi B100 tersebut akan memanfaatkan kilang eksisting bukan kilang baru supaya lebih efisien. “Skemanya memang tidak membangun baru dengan penghematan bisa mencapai 50%. Jadi ini yang lebih kita kedepankan,” kata dia.
Di sisi lain, Pertamina telah melaksanakan penyaluran mandatori B30 tahun ini. Pihaknya menargetkan penyerapan FAME di 2020 akan mencapai 8,38 juta kiloliter (kl) meningkat dari tahun lalu sebanyak 5,5 juta kl.
(akr)