Ini Bukti Pentingnya Perjanjian Dagang Demi Daya Saing Ekonomi RI

Jakarta – Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani membeberkan sepak terjang Indonesia mengekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) ke Turki. Beberapa tahun lalu, Indonesia pernah mengekspor CPO ke Turki senilai US$ 360 juta. Sayangnya, terhitung 2 tahun sejak Malaysia dan Turki meneken perjanjian dagang di bidang tertentu atau Preferential Trade Agreement (PTA) pada Juni 2014, ekspor sawit ke Turki anjlok yakni hanya menjadi senilai US$ 5 juta.

“Waktu itu saya bersama Bapak Presiden ke Turki, ternyata pembelian CPO kita hanya dalam 2 tahun turun US$ 360 juta ke US$ 5 juta karena mereka mengambil dari Malaysia, yang di mana Malaysia sudah mempunyai PTA terlebih dahulu dengan Turki,” kata Rosan dalam webinar Bisnis Indonesia, Selasa (28/7/2020).

Melalui PTA, bea masuk impor minyak sawit asal Malaysia ke Turki turun dari 31% menjadi 20%, sehingga harga CPO asal Malaysia di Turki lebih rendah. Hal ini menyebabkan CPO Indonesia kalah saing dengan Malaysia.

Hal itu juga dibenarkan oleh Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri dalam kesempatan yang sama.

“Di Turki betul bahwa dulu CPO kita punya market power. Begitu ada perjanjian Turki dengan Malaysia, maka market power kita diambil Malaysia,” ungkap Kasan.

Oleh sebab itu, baik dunia usaha maupun pemerintah menilai pentingnya perjanjian dagang baik PTA, maupun yang lainnya seperti Free Trade Agreement (FTA), Comprehensive Economic Partnership (CEPA), dan sebagainya untuk bisa diimplementasikan dengan berbagai negara. Salah satunya dengan Turki agar Indonesia bisa merebut kembali pasar CPO di negara tersebut dari Malaysia.

“Tentunya kita untuk mengembalikan posisi kita yang paling mudah ialah dengan melakukan perjanjian, maka ini tarif yang tadinya mendapat, menjadi barrier, sehingga produk kita harganya naik, maka akan kembali dalam waktu cepat, dengan cara perjanjian bisa segera diselesaikan. Itu saya kira jalan yang bisa ditempuh,” tutur Kasan.

Namun, untuk 2020 ini menurut Kasan baru terdapat dua perjanjian dagang yang akan masuk proses ratifikasi. Sementara yang lainnya masih memerlukan beberapa tahap penyelesaian.

“Perjanjian yang segera masuk proses ratifikasi seperti Indonesia-EFTA, lalu Indonesia-Mozambik. Ini juga perjanjian yang memberikan akses untuk 2 negara. Lalu perjanjian yang sudah juga selesai diinisiasi dan akan segera ditanda tangani yaitu dengan Korea Selatan. Di regional beberapa sudah kita selesaikan. Lalu 2020 ini juga ditargetkan akan selesai pertama RCEP yang melibatkan 15 negara di luar India, lalu Indonesia dengan Tunisia PTA,” tutup Kasan.

 

(eds/eds)