Persepsi Hutan Nonlinier, Deforestasi Sawit Hanya Ilusi

WE Online, Jakarta – Meskipun sudah menurun, isu deforestasi (perubahan status dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan) akibat perkebunan kelapa sawit yang disuarakan oleh LSM anti sawit dan Uni Eropa masih berbekas dan meninggalkan jejak. Kondisi tersebut semakin diperparah akibat nonlinier persepsi terkait definisi dan pemahaman deforestasi dan konversi hutan antara Indonesia dan sejumlah lembaga internasional.

Secara terminologi, di Indonesia hutan didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang didominasi pepohonan dan juga kawasan yang secara administrasi ditetapkan sebagai hutan. Sementara itu, FAO (Food and Agriculture Organization) yang diadopsi Uni Eropa menyatakan hutan sebagai lahan dengan luas minimal 0,5  hektare dengan ketinggian minimal 5 meter dan membentuk kanopi lebih dari 10 persen.

Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki), Dr. Petrus Gunarso mengatakan, “Kalau merujuk definisi hutan Eropa di mana tutupan 10 persen masuk definisi hutan, di Indonesia tidak ada lahan yang tidak tertutup. Mau tanam sawit di mana kita. Meski sudah berstatus APL, kalau memenuhi kriteria definisi hutan menurut Food and Agriculture Organization (FAO), ketika tanamannya diganti sawit ya dianggap deforestasi”.

Tidak hanya itu, pengelolaan hutan di Indonesia terdiri atas hutan primer dan hutan sekunder yang merupakan bagian dari hutan alam. Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Belinda Arunarwati Margono menjelaskan bahwa hutan primer didefinisikan sebagai seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan.

“Sedangkan seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas tebangan/gangguan disebut hutan sekunder. Secara sederhana, hutan alam merupakan gabungan antara hutan primer dan Hutan Sekunder; sedangkan hutan sendiri mencakup hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman.”

Tidak hanya perbedaan definisi hutan oleh Indonesia dan FAO, GFW (Global Forest Watch) juga telah merilis terminologi terkait primary forest. GFW mendefinisikan primary forest sebagai hutan dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30 persen. Kurang tepat rasanya apabila persepsi GFW tersebut disamakan dengan definisi hutan primer yang dianut Indonesia, yang mana apabila memperhatikan batasan yang dipakai maka yang disebut dengan primary forest sesungguhnya adalah hutan alam (mature natural forest) bukan hutan primer.

Perlu diketahui bahwa dari awal dirilis, data GFW menggunakan informasi canopy tree secara series untuk melakukan estimasi perubahan tree cover. Dalam hal ini, tree cover yang berupa hutan alam, hutan tanaman, jungle rubber, belukar tua maupun agroforestry dengan tanaman keras, ataupun kebun/perkebunan akan mencakup apa pun vegetasi yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter pada tahun pengamatan.

Dengan situasi tersebut, ketika muncul informasi/data tree cover loss maka perubahan/loss yang terdeteksi terjadi pada semua vegetasi yang mempunyai tinggi lebih dari 5 meter. Situasi ini tidak sesuai dengan Indonesia, yang mana deforestasi khususnya gross deforestastion hanya fokus pada perubahan tutupan hutan yang terjadi pada hutan alam.

Lebih lanjut Belinda mengatakan, “Untuk inilah maka Indonesia tidak bisa menerima informasi tree cover loss sebagai angka deforestasi.”

Berdasarkan kajian Komisi Eropa tahun 2013 diketahui bahwa total deforestasi lahan yang terjadi secara global mencapai 239 juta hektar dengan rincian 58 juta hektar berasal dari peternakan, 13 juta hektar oleh pembukaan lahan kedelai, 8 juta hektar akibat pembukaan lahan jagung dan hanya 2,5 persen dari total deforestasi tersebut atau sekitar 6 juta hektar yang berasal dari perkebunan kelapa sawit.

Tidak hanya itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB), Prof. Yanto Santosa juga menambahkan 22 persen dari total deforestasi global tersebut berasal dari hutan sekunder, sementara sisanya berasal dari lahan terbuka, semak belukar, semak rawa, perkebunan karet dan lainnya. Dari segi pengurangan emisi gas rumah kaca, biofuel berbasis sawit mampu menandingi batas yang telah ditetapkan Uni Eropa, baik RED I yaitu 35 persen atau RED II sebesar 65 persen.

 

Penulis: Ellisa Agri Elfadina

Editor: Lestari Ningsih