Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Produk, Bisa Tekan Kebakaran Hutan

Suka tidak suka, komoditas perkebunan khususnya sawit adalah sumber utama devisa negara.

Bisnis.com, JAKARTA – Untuk menekan angka kebakaran hutan, penurunan emisi karbon, dan bencana lain akibat perubahan iklim pemerintah perlu mendorong komitmen mendorong nilai tambah produk kehutanan.

Menurut Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, selama ini pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Imbasnya, kini masyarakat sudah merasakan dampak model pembangunan eksploitatif yang tidak sustainable misalnya dengan kebakaran hutan dan lahan, bencana longsor, hingga banjir.

Dia menyebut, sepanjang 2015-2017, Indonesia memang cukup mampu menekan angka kebakaran hutan. Namun angka itu melonjak pada 2018 dengan total 720 kebakaran, angka pun semakin naik pada tahun berikutnya yaitu 2019 dengan total kasus 3.700an kasus. Pada saat yang sama, dari tahun ke tahun, Nadia menyoroti kian turunnya alokasi anggaran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk penanganan kebakaran hutan.

“Awalnya masih sekitar Rp400 miliar pada 2016, lalu menurun pada 2019 saja menjadi Rp95 miliar, dan tahun ini Rp86 miliar,” ungkap Nadia dalam webinar, Kamis (23/7/2020).

Mayoritas lahan yang terbakar kini beralih fungsi sebagai perkebunan. Nadia menyebut kondisi ini terjadi karena komoditas perkebunan salah satunya sawit adalah sumber utama devisa negara. Suka tidak suka, pendapatan negara pun sangat bergantung dari sektor ini tanpa ada kejelasan dalam merekonstruksi hutan.

Sementara itu berdasarkan World Bank Economic Prospect, PDB Indonesia sampai akhir 2020 kemungkinan besar hanya 0 persen akibat pandemi Covid-19. Alhasil fokus anggaran pemerintah kini adalah menggelontorkan stimulus fiskal dalam beragam program termasuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sampai dengan sekitar Rp695 triliun.

“Dari stimulus dan belajar dari kondisi saat ini, ada peluang untuk mengubah pembangunan ekonomi menjadi ekonomi hijau. Misalnya, dari upaya transformasi ekonomi konservatif ke ekonomi hijau ini. Asalkan strategi dan mekanisme yang disiapkan sudah matang, tanpa harus mengorbankan hutan,” ujar Nadia.

Ekonom Senior Emil Salim menambahkan, ada keanekaragaman hayati di dalam hutan yang sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Namun dengan kondisi alih fungsi lahan demi ekonomi yang lebih besar, perlu ada strategi jitu untuk menaikkan nilai tambah pada produk kehutanan guna mendorong kontribusi yang tinggi bagi ekonomi negara. Konsep penambahan nilai tambah bagi produk kehutanan inilah yang menurut Emil menjadi dasar dari ekonomi hijau.

“Di hutan itu banyak tanaman yang bisa diolah jadi obat-obatan. Jadi disini perlu kerjasama kementerian salah satunya Kemenristek mengelola itu sehingga hutan Indonesia terjaga,” kata Emil.

Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct), Ronny P. Sasmita menambahkan, kunci implementasi ekonomi hijau yang mendorong sektor kehutanan harus melalui cara-cara politik yang baik berbasis kebijakan.

Dia menjelaskan jika berkaca dari Amerika Serikat, kebijakan ekonomi hijau kini sudah masuk ke jajaran pemerintahan melalui isu arus utama yang diusung pada tingkat partai. Hal itu masih berbeda dari yang terjadi di Indonesia, dimana isu krisis lingkungan belum bisa masuk sebagai isu arus utama. Sebaliknya, hal ini di Indonesia masih menjadi single fighter, dan belum menjadi fokus utama di tingkat nasional dan di luar arena pengambilan kebijakan.

“Di Amerika sudah jelas, ada golongan pengusaha dengan platform partainya misalnya Demokrat yang pro renewable energy dengan Republik yang masih konservatif. Karena terpecah alhasil tingkat DPR pun bisa mengajukan mandate ke Trump untuk membuat kebijakan setiap keuntungan dari minyak dan gas harus disalurkan untuk konservasi air dan hutan,” kata Ronny.

 

Editor : Novita Sari Simamora