US Customs and Border Protection diberitakan akan menahan pengiriman minyak sawit dan produk berbasis kelapa sawit yang dibuat oleh FGV Holdings Bhd menyusul adanya indikasi perseroan menggunakan kerja paksa.
Bisnis.com, JAKARTA — Minyak kelapa sawit atau crude palm oil kembali mencuri perhatian setelah Amerika Serikat memutuskan untuk memblokir impor dari salah satu produsen terbesar dunia.
Dilansir melalui Bloomberg Minggu (4/10/2020), US Customs and Border Protection akan menahan pengiriman minyak sawit dan produk berbasis kelapa sawit yang dibuat oleh FGV Holdings Bhd. Keputusan itu menyusul adanya indikasi perseroan menggunakan kerja paksa.
Bloomberg mencatat Amerika Utara hanya berkontribusi sekitar 5 persen dari penjualan FGV Holdings Bhd. Akan tetapi, keputusan otoritas AS dapat mendorong negara lain untuk mengikuti untuk meluncurkan penyelidikan sendiri.
“Ini berpotensi mengarahkan beberapa negara untuk melihat masalah praktik ketenagakerjaan di FGV dan industri,” ujar Head of Research CGS-CIMB Kuala Lumpur Ivy Ng dilansir melalui Bloomberg, Minggu (4/10/2020).
Ivy mengatakan tuduhan tersebut bukan hal baru. Kendati demikian, konsumen mungkin ini menilai kembali pembelian dan mendapatkan jaminan dari produsen tentang standar ketenagakerjaan yang adil.
Kebijakan AS memblokir FGV Holdings Bhd menuai kecaman dari pekebun Malaysia. Langkah itu dinilai akan berdampak terhadap lebih dari 32.000 petani.
The National Association of Smallholders Malaysia mengatakan keputusan pemblokiran sebagai tindakan sembrono. Reputasi komoditas CPO akan semakin buruk karena menghadapi kampanye anti minyak sawit di Eropa.
Tuduhan yang dilayangkan oleh US Customs and Border Protection tidak berdasar. Pasalnya, sebagian besar pekerja mengoperasikan pertanian mereka sendiri.
Bloomberg mencatat larangan impor merupakan pukulan lain bagi industri minyak sawit. Sektor itu tengah berjuang dengan penurunan permintaan minyak goreng karena pandemi telah mengakibatkan restoran tutup.
Malaysia, produsen terbesar kedua di dunia, tengah bergulat dengan kekurangan pekerja. Hal itu seiring dengan pembatasan perjalanan.
Pemilik Palm Oil Analytics Singapore Sathia Varqa mengatakan pesanan Amerika Serikat tidak berpengaruh terhadap masa depan minyak sawit. Akan tetapi, dari segi reputasi, ini merupakan pukulan telak bagi FGV.
“Amerika Serikat menyumbang 2 persen hingga 3 persen dari ekspor tahunan Malaysia tetapi ini merupakan pasar yang penting mengingat ekonomi yang besar dan prospek pertumbuhan,” paparnya.
Catatan Bloomberg menunjukkan FGV sebagai salah satu produsen minyak nabati terkemuka di dunia telah melakukan pembicaraan dengan otoritas Amerika Serikat sejak Agustus 2019. Perseroan mengklaim telah mengambil langkah untuk menegakkan standar tenaga kerja.
Produsen besar lainnya, Sime Darby Plantation Bhd., juga mengatakan khawatir akan terkena tindakan dari AS. Sebuah organisasi non pemerintah disebut telah mengajukan petisi keprihatinan atas pekerja paksa dan pekerja anak di perkebunannya.
Editor : Aprianto Cahyo Nugroho