RI Tak Boleh Menggantungkan Nasib Sawit pada Kerja Sama Eropa-ASEAN

ASEAN tengah berunding dengan Uni Eropa terkait perjanjian kerja sama di industri kelapa sawit dan minyak nabati.

Negara-negara ASEAN tengah berunding dengan Uni Eropa terkait perjanjian kerja sama di industri kelapa sawit dan minyak nabati. Namun, negosiasi antara kedua kelompok negara tersebut dikhawatirkan tak memberikan solusi atas permasalahan sawit Indonesia.

Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, solidaritas antar negara ASEAN masih belum terbentuk. Indonesia masih bersaing dengan negara ASEAN lain untuk mendapatkan investor dari luar.

“Kita di ASEAN ada Singapura, mereka itu biasa terganggu dengan asap, dan mereka akan mengatakan bahwa ini adalah akibat dari kebun sawit kita. Kalau memang mau bekerja sama dengan Eropa, lebih baik antara Indonesia dengan Uni Eropa saja agar fokus dengan apa yang menjadi kepentingan kita,” ujar Hikmahanto dalam INAPalmOil Talk Show, Rabu (31/3).

Indonesia, menurut dia, harus dapat menjaga kepentingan nasional terkait industri sawit karena besarnya tenaga kerja dan kontribusinya terhadap perekonomian. Sementara jika bernegosiasi dengan Uni Eropa bersama ASEAN, Indonesia tidak memiliki kontrol. “Bisa saja apa yang menjadi kepentingan nasional kita dianulir,” katanya.

Untuk itu, menurut dia, Indonesia harus menjadi leader jika tetap ingin bernegosiasi dengan Eropa menggunakan kendaraan ASEAN.

Uni Eropa dalam beberapa tahun terakhir gencar menolak komoditas kelapa sawit yang menjadi salah satu andalan utama ekspor Indonesia. Dalam Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II), Uni Eropa menggolongkan, kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau Indirect Land-Use Change (ILUC).

Komisi Uni Eropa juga mempublikasikan Jurnal Uni Eropa. Dalam jurnal tersebut disebutkan bahwa impor biodiesel bersubsidi dari Indonesia telah mengancam kerugian materil pada industri Uni Eropa. Akibatnya, Pemerintah Uni Eropa mengenakan bea masuk terhadap delapan perusahaan biodiesel di Indonesia.

Pemerintah Indonesia bahkan sudah menggugat Uni Eropa terkait diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit tersebut ke WTO. Namun, Uni Eropa justru kian gencar menolak kelapa sawit dengan menetapkan batas maksimum komoditas tersebut sebagai bahan makanan.

Duta besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket mengatakan, Uni Eropa memiliki program Kesepakatan Hijau (European Green Deal) dan Farm to Fork (F2F). Green Deal merupakan transisi dari model ekonomi tinggi karbon menjadi rendah karbon.

Melalui Green Deal, Uni Eropa ingin mengurangi polusi dan memperbaiki iklim serta menjadikan negaranya bebas dari emisi gas rumah kaca pada 2050 mendatang. Sedangkan Farm to Fork adalah strategi merancang ulang sistem pangan dengan mengurangi penggunaan pestisida untuk menghasilkan pangan yang sehat, aman, dan berkelanjutan.

“Kami ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang baik dengan penggunaan sumber daya alam yang optimal. Jadi tidak ada lagi masyarakat yang tertinggal,” kata Vincent.

Adapun Vincent menilai langkah Uni Eropa dan negara-negara ASEAN membentuk Joint Working Program (JWP) sangat baik. Kemitraan ini penting untuk membahas kesepakatan perdagangan kedua kelompok negara tersebut.

Penulis: Cahya Puteri Abdi Rabbi
Editor: Agustiyanti