KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia memang memiliki potensi minyak jelantah atau minyak goreng bekas yang cukup besar. Di sisi lain, aturan tata niaga terkait minyak jelantah masih menjadi sorotan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Susy Herawaty mengatakan, sejauh ini pemerintah belum memiliki regulasi khusus yang mengatur minyak jelantah.
Namun, di sisi lain pemerintah memilih untuk memperkuat aturan yang sudah ada terkait minyak goreng. Pasalnya, minyak jelantah merupakan turunan dari minyak goreng.
Salah satu regulasi yang cukup ditekankan oleh pemerintah adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan.
Lewat beleid ini, produsen, pengemas, dan/atau pelaku usaha yang memperdagangkan minyak goreng sawit kepada konsumen wajib memperdagangkan minyak goreng sawit dengan menggunakan kemasan.
Saat Permendag ini mulai berlaku, minyak goreng dalam bentuk curah masih bisa diperdagangkan sampai dengan 31 Desember 2021. Dengan kata lain, mulai awal tahun 2022 nanti, minyak goreng curah dilarang beredar di pasar.
“Minyak goreng curah memang cukup rawan karena bisa saja berasal dari minyak jelantah. Harganya juga lebih fluktuatif dibandingkan minyak goreng kemasan. Kehalalannya juga masih dipertanyakan,” ungkap dia dalam webinar, Rabu (23/6).
Selain itu, pemerintah juga memiliki sejumlah regulasi lain terkait pengadaan dan perdagangan minyak goreng. Di antaranya, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang telah diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bab III Paragraf 8 di Sektor Perdagangan, kemudian UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapula Perpres No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sebagaimana diubah dengan Perpres No 59 Tahun 2020, serta Permenperin No. 46 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Minyak Goreng Sawit secara Wajib.
“Regulasi yang sudah diterbitkan kami rasa sudah cukup kuat untuk mengurangi peredaran minyak jelantah untuk makanan. Tinggal penguatan pengawasan di lapangan dan ini tidak hanya jadi tugas Kemendag, tetapi juga aparat penegak hukum,” papar Susy.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menganggap, minyak jelantah belum memiliki regulasi dan ruang lingkup yang jelas.
Menurutnya, negara-negara maju mengkategorikan minyak jelantah sebagai limbah atau sisa proses penggorengan. Sedangkan di Indonesia, minyak jelantah belum jelas apakah masuk dalam kategori limbah atau tidak. Minyak jelantah pun tidak tertera dalam PP No. 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
“Karena belum ada regulasi yang jelas, maka minyak jelantah ini diibaratkan pisau bermata dua berhubung pasarnya sedang booming dan harganya baik pula,” ungkapnya dalam webinar yang sama, hari ini (23/6).
Asal tahu saja, potensi minyak jelantah di Indonesia mencapai 3 juta kiloliter pada 2019. Di mana, sebanyak 2,43 juta kiloliter dijadikan minyak goreng daur ulang dan dijual kembali ke pasar. Sedangkan 570.000 kiloliter sisanya dipakai untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya.
Indonesia pun telah mengekspor minyak jelantah sebanyak 184.090 kiloliter atau setara US$ 90,23 juta pada 2019 lalu. Belanda menjadi negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$ 23,6 juta.
Sahat menilai, pasar Eropa untuk minyak jelantah cukup besar. Mereka pun siap membeli minyak jelantah Indonesia lebih mahal dari minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
Sebab, di sana minyak jelantah dibutuhkan untuk bahan baku biodiesel. Bukan hal yang mengejutkan jika pasar ekspor tampak menggiurkan bagi pelaku usaha minyak jelantah Indonesia.
Terlepas dari itu, Sahat berujar bahwa ekspor minyak jelantah harus dilakukan oleh perusahaan yang jelas dan terdaftar agar tidak terjadi penyalahgunaan. “Perusahaan ini harus berizin khusus untuk melakukan pengumpulan dan pengolahan minyak jelantah,” pungkas dia