Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia menyatakan akan melakukan penyelidikan mendalam terkait dugaan penggunaan pekerja secara paksa oleh perusahaan perkebunan FGV Holdings Berhad (FGV) dalam proses produksinya.
Datuk Seri M Saravanan mengatakan selain penyelidikan FGV, pihaknya juga menerima informasi bahwa perusahaan besar Malaysia lain kemungkinan akan menghadapi langkah yang sama oleh Amerika Serikat.
“Sabar saja. (Tuduhan) ini melibatkan banyak pihak dan terlalu awal (untuk berkomentar). Saya perlu mendapatkan informasi lebih lanjut dulu,” kata Saravanan Kamis(01/10) seperti dikutip kantor berita Bernama.
Harga saham FGV jatuh 8% Kamis (01/10) terkait perkembangan ini.
Badan bea cukai dan perlindungan perbatasan Amerika Serikat, Customs and Border Protection (CBP) menutup impor minyak sawit produksi FGV terkait kekhawatiran penggunaan pekerja secara paksa.
CBP menyebut adanya pelecehan seksual dan fisik, ikatan utang serta dugaan pelanggaran dalam kondisi kerja sebagai alasan menutup impor FGV.
Dengan larangan itu, pengiriman dari perusahaan itu dan anak perusahaannya akan ditahan di pelabuhan masuk AS.
Dalam satu pernyataan, FGV mengatakan telah “mengambil langkah kongkret” untuk memperbaiki kondisi pekerja.
CBP mengatakan penyelidikan satu tahun mengungkap “pembatasan bergerak, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, menahan dokumen pekerja, menahan gaji, ikatan utang, kondisi kerja mengkhawatirkan dan jam lembur berlebihan.”
Penyelidikan itu juga mengangkat kekhawatiran terkait kerja paksa anak yang kemungkinan digunakan oleh FGV dalam proses produksi minyak sawit.
FGV adalah perusahaan publik dan menurut situs mereka, produksi sawitnya menyumbang sekitar 15% dari produksi tahunan minyak sawit Malaysia.
Minyak sawit digunakan untuk berbagai produk makanan, kosmetik, bahan farmasi serta bahan bakar.
“Penggunaan pekerja paksa dalam proses produksi itu membuat perusahaan-perusahaan mendapatkan keuntungan dari para pekerja yang rentan,” kata Brenda Smith, asisten komisaris kantor perdagangan CBP.
“Perusahaan-perusahaan ini menciptakan persaingan tidak adil untuk bahan-bahan ini dan memberikan kepada publik produk yang tidak memenuhi standar etika,” katanya.
Amerika Serikat meningkatkan larangan impor sejak 2016, setelah perubahan dalam undang-undang AS yang memungkinkan CBP bertindak bila menemukan produk yang menggunakan pekerja secara paksa.
Dalam beberapa bulan terakhir, AS telah mengeluarkan sejumlah surat yang disebut Perintah Menahan terhadap perusahaan-perusahaan China terkait kekhawatiran penggunaan pekerja paksa di Provinsi Xinjiang.
Langkah kongkret dan ketergantungan pada pekerja migran
Malaysia adalah produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Indonesia dengan produksi sekitar 25% dari pasok dunia.
Produsen minyak sawit Malaysia sangat tergantung pada buruh murah asing, sebagian besar dari Indonesia, Bangladesh, Nepal dan India yang terdiri dari lebih dari 80% buruh perkebunan.
Terkait perkembangan di AS itu, FGV menyatakan kekecewaan namun mengatakan telah mengambil “langkah kongkret” untuk menunjukkan “komitmen menghargai hak asasi manusia dan mematuhi standar perburuhan.”
“Perlu ditekankan lagi bahwa FGV tidak mentolerir bentuk pelanggaran hak asasi apapun atau pelanggaran pidana dalam operasi kami,” kata perusahaan dalam satu pernyataan.
Perkebunan sawit perusahaan itu sangat tergantung pada pekerja migran, termasuk lebih dari 11.000 pekerja dari Indonesia dan hampir 5.000 dari India.
FGV mengatakan telah memperkuat prosedur merekrut pekerja dan meningkatkan investasi sekitar US$84 juta untuk meningkatkan fasilitas perumahan di perkebunan-perkebunan.
Perusahaan itu menolak klaim bahwa mereka menahan paspor para pekerja. Mereka mengatakan telah memasang 32.000 “laci aman” di 68 kompleks untuk membantu pekerja menyimpan dokumen mereka.
Kekhawatiran sebelumnya
FGV sendiri mengakui bahwa masalah buruh dalam lima tahun terakhir ini selalu menjadi bahan perdebatan publik.
Organisasi-organisasi lain sebelumnya juga menyatakan kekhawatiran terkait praktik-praktik yang dilakukan FGV.
Pada bulan Januari lalu, badan terkait keberlangsungan minyak sawit, mencabut sertifikasi untuk sejumlah perkebunan FGV.