India Tangguhkan Izin Impor, Harga CPO Melorot Lagi

India Tangguhkan Izin Impor, Harga CPO Melorot Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia – Harga minyak sawit mentah (CPO) untuk kontrak pengiriman Juli 2020 di Bursa Maalaysia Derivatif (BMD) anjlok pada perdagangan hari pertama pekan ini setelah libur Nuzulul Quran kemarin. Lagi-lagi anjloknya harga CPO dipengaruhi oleh sentimen negatif yang datang dari India.

Harga CPO kontrak pengiriman Juli 2020 anjlok 22 ringgit atau melemah 1,09% ke RM 1.998/ton jelang siang hari ini, Selasa (12/5/2020) pada 11.10 WIB. Harga CPO kembali melorot di bawah level psikologis RM 2.000/ton.

Reuters melaporkan India menangguhkan 39 izin impor minyak sawit olahan setelah terjadi lonjakan impor minyak sawit olahan dari Nepal dan Bangladesh yang bukan merupakan produsen minyak sawit. “Semua 39 lisensi untuk impor minyak kelapa sawit akan segera ditangguhkan,” tulis sebuah surat edaran pemerintah yang diterima Reuters.

India, importir minyak nabati terbesar di dunia, memasukkan minyak sawit olahan dan palmolein pada daftar barang-barang terlarang pada 8 Januari, meskipun New Delhi kemudian mengeluarkan izin untuk mengimpor lebih dari 1,1 juta ton minyak sawit olahan dari Indonesia, Nepal dan Bangladesh.

“Penangguhan ini menambah tekanan pada kontrak karena mempengaruhi perusahaan yang hanya mengimpor dari Nepal dan Bangladesh,” kata seorang pedagang yang berbasis di Kuala Lumpur.

Impor minyak sawit Uni Eropa (UE) pada musim 2019/20 yang dimulai Juli lalu mencapai 4,78 juta ton hingga 10 Mei. Impor turun 15% dari periode tahun sebelumnya, mengacu pada data resmi UE menunjukkan pada Senin. Sementara itu, ekspor minyak sawit Malaysia pada 1-10 Mei diperkirakan naik antara 7,8% – 11,9% dari bulan sebelumnya, menurut surveyor kargo.

Beralih ke dalam negeri, di tengah anjloknya harga minyak mentah global, Indonesia kemungkinan akan menunda rencana untuk meningkatkan kandungan biologis dalam biodiesel berbasis minyak kelapa sawit menjadi 40% (B20). RI akan tetap melanjutkan program B30, menurut seorang pejabat senior pada hari Jumat pekan lalu.  Anjloknya harga minyak membuat program bahan bakar berbasis minyak sawit atau minyak nabati lain menjadi kurang ekonomis.

Walau beberapa negara sudah bertahap membuka kembali ekonominya, tetapi ancaman terjadinya gelombang wabah kedua patut diwaspadai. Pasalnya tanda-tandanya sudah mulai terlihat.

Di beberapa negara yang sudah melaporkan perlambatan jumlah kasus baru yang signifikan kembali ditemukan kenaikan kasus seiring dengan pelonggaran lockdown atau pembatasan sosialnya.

Di Asia, kejadian tersebut dialami oleh China dan Korea Selatan. Dalam dua hari terakhir, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO menyebutkan kasus baru di China naik 0,02%. Meski sangat tipis, tetapi itu adalah laju tercepat sejak 29 April. Artinya, ada tanda kasus baru virus corona mulai meningkat lagi.

Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan lockdown di Kota Shulan, Provinsi Jilin. Ini dilakukan agar virus tidak semakin menyebar. Di Kota Wuhan, ground zero penyebaran virus corona, sudah ada satu kluster penyebaran baru setelah lockdown dicabut sebulan lalu. Ada lima pasien baru yang tinggal di sebuah pemukiman.

Kemudian di Korea Selatan, Korea Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 11 Mei adalah 10.909 orang. Naik 0,32% dibandingkan posisi per hari sebelumnya. Seperti halnya di China, pertumbuhan kasus di Negeri Ginseng memang relatif rendah. Namun kenaikan 0,32% menjadi yang tertinggi sejak 9 April.

Pada akhir pekan lalu, jumlah pasien positif corona di Korea Selatan bertambah 35 orang dalam sehari, tertinggi dalam lebih dari sebulan terakhir. Sebanyak 29 di antaranya terjangkit setelah mendatangi beberapa bar dan klub malam.

Potensi terjadinya gelombang kedua wabah ini sebenarnya sudah diwanti-wanti jauh hari oleh ahli epidemiologi Ben Cowling, seorang profesor di School of Public Health at the University of Hong Kong.

″ … Saya pikir untuk memiliki timeline akan jadi sangat menantang. Tidak ada negara yang ingin membuka terlalu dini, dan kemudian menjadi negara pertama yang memiliki gelombang kedua yang besar,” kata Cowling kepada CNBC International pertengahan April lalu.

Melihat kondisi pasar yang memang belum kondusif akibat pandemi Covid-19 harga CPO memang rawan terkoreksi.

TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/hps)