Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang diundangkan pada tanggal 16 Maret 2020.
Dalam aturan tersebut, usaha perkebunan kelapa sawit wajib dilakukan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Sertifikasi ISPO tersebut diajukan oleh pelaku usaha yang meliputi perusahaan perkebunan dan atau pekebun.
Dalam Perpres tersebut dijelaskan bahwa pekebun adalah perseorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan kelapa sawit dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu.
Meski diwajibkan melakukan sertifikasi ISPO, pekebun pun dapat mengajukan sertifikasi ISPO secara perseorangan maupun berkelompok, yakni kelompok pekebun, gabungan kelompok pekebun atau koperasi.
Tak hanya itu, pendanaan sertifikasi ISPO yang diajukan pekebun pun dapat bersumber dari APBN, APBD hingga sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, pendanaan tersebut disalurkan melalui kelompok pekebun, gabungan kelompok pekebun atau koperasi dan dapat diberikan selama masa sertifikasi ISPO awal.
Ketua Sekretariat Komisi ISPO Azis Hidayat mengatakan, lewat aturan ini memang pekebun diharuskan mengikuti sertifikasi ISPO. Dia mengatakan, dalam aturan sebelumnya yakni Permentan Nomor 11 tahun 2015 tentang Siste Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, penerapan ISPO dilakukan secara wajib dan sukarela.
“Dalam Permentan lama lebih fleksibel dan sifatnya sukarela. Kalau belum siap, belum dikenai sanksi. Tetapi dia wajib ISPO kalau dia memasok ke pabrik kelapa sawit (PKS). Kalau sekarang ya semuanya [sudah wajib ISPO]. Karena itu sekarang harus berbenah,” ujar Azis kepada Kontan, Minggu (22/3).
Walaupun sudah diwajibkan mengantongi sertifikasi ISPO, tetapi Perpres 44/2020 ini berlaku bagi pekebun 5 tahun sejak Perpres diundangkan.
Azis mengatakan, pekebun yang diwajibkan untuk ISPO juga bergantung dengan kesiapan pemerintah. Menurut Azis, harus ada komitmen dari pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan layanan pada pekebun.
Hal ini terkait dengan masalah legalitas lahan seperti berkaitan dengan percepatan sertifikasi tanah bagi pekebun plasma, masalah penyelesaian kebun sawit rakyat yang terindikasi masuk kawasan, hingga persoalan pembiayaan.
“Kan diberi 5 tahun sejak sekarang, pemerintah harus memfasilitasi dari segi pembiayaan APBN dan APBD. Kuncinya kembali ke pemerintah, pemerintah bisa tidak menganggarkan sekian juta hektare untuk disertifikasi,” terang Azis.
Dia pun mengatakan, pekebun pun harus disiapkan pula. Mulai dari melakukan pembinaan hingga pembentukan kelompok dan koperasi. Bila belum terindentifikasi berapa banyak kelompok dan koperasi yang ada, maka sulit untuk mengusulkannya ke anggaran pemerintah pusat maupun daerah.
Sementara itu, hingga Januari 2020, Komisi ISPO telah menerbitkan 621 sertifikat ISPO dengan luas areal 5,45 juta ha. Dari jumlah tersebut sertifikat ISPO untuk koperasi pekebun plasma dan swadaya baru sebanyak 14 sertifikat dengan luas 12.270 hektare, atau 0,21% dari luas kebun rakyat 5,8 juta ha.
Mayoritas yang mendapatkan sertifikat ISPO adalah perusahaan swasta dengan 557 sertifikat dan luas areal 5,25 juta ha, berikutnya PT Perkebunan Nusantara sebanyak 50 sertifikat dengan luas areal 286.590 ha.