Forest Stewardship Council, FSC, lembaga sertifikasi hutan mengumumkan langkah mencabut lisensi merek dagang perusahaan sawit Korea Selatan Korindo sementara, menyusul laporan investigasi yang menunjukkan perusahaan itu diduga “secara sengaja” menggunakan api untuk membuka lahan di Papua.
“FSC menghentikan lisensi merek dagang Korindo dengan FSC dan penghentian ini akan mulai berlaku mulai 16 Oktober 2021,” demikian pengumuman FSC Kamis (15/07).
Cap FSC, yang bergambar pohon, ditempel pada produk-produk kertas dan barang berbahan kayu, sebagai pengesahan bahwa produk tersebut bisa dipasarkan di Inggris dan Eropa, dan mempromosikan bahwa produk tersebut berasal dari proses produksi berkelanjutan.
Investigasi yang dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace yang diterbitkan pada November lalu bersama dengan BBC, menemukan bukti bahwa Korindo telah melakukan pembakaran lahan untuk membuka perkebunan kelapa sawitnya selama periode 2011-2016.
Investigasi tersebut menemukan bukti kebakaran di salah satu konsesi Korindo selama beberapa tahun dengan pola ‘pembakaran yang disengaja’ secara konsisten.
Saat hasil investigasi tersebut diterbitkan pada November 2020, FSC berkata mereka tidak akan mengeluarkan FCS dari keanggotaan dan akan bekerja bersama Korindo yang berkomitman untuk melakukan “perbaikan, yang dirasa lebih penting ketimbang memberikan hukuman”.
Tapi kini, FSC menyatakan “kondisi ini tak dapat dipertahankan lagi” dan mengakhiri penggunaan lisensi merek dagang FSC untuk sementara.
Dikonfirmasi pada Rabu (14/07), Korindo mengatakan “terkejut atas keputusan FSC”.
Kwangyul Peck, Chief Sustainability Officer di Korindo Group, melalui keterangan tertulis kepada BBC Indonesia, mengatakan Korindo “telah menjalankan setiap langkah pada roadmap yang telah disepakati bersama dalam beberapa tahun terakhir” dan menegaskan bahwa “tidak ada masalah yang serius” dalam proses reasosiasi dengan FSC.
‘Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali’
Dalam keterangan tertulis yang dipublikasikan oleh FSC pada hari ini, Kamis (15/07), tertulis: “Menyusul keputusan Dewan direksi, Korindo telah ‘berupaya meningkatkan kemajuan dari sisi sosial dan lingkungan seperti yang ditetapkan dalam persyaratan FSC pada 2019.’
“Dewan meminta untuk mendapatkan laporan kemajuan untuk memastikan adanya proses yang kredibel, terikat waktu, dan diverifikasi secara independen, dan untuk memastikan terjadinya kemajuan terkait komitmen.”
“Namun FSC dan Korindo tidak dapat menyepakati terjadinya proses verifikasi yang independen sehingga menyebabkan penundaan langkah FSC untuk memverifikasi dan melaporkan kemajuan Korindo terkait persyaratan yang ada.”
“Kondisi ini tak bisa dipertahankan lagi bagi FSC untuk memverifikasi kemajuan terkait kinerja Korindo dalam bidang sosial dan lingkungan berdasarkan perrsyaratan awal.
Itulah sebabnya Dewan memutuskan untuk “memisahkan diri” [dari Korindo],” kata Kim Carstensen, Direktur Jendral FSC.
“Kami percaya langkah ini dapat memberikan kami kepastian dan angin segar sementara Korindo melanjutkan upaya meningkatkan kinerja dalam bidang sosial dan lingkungan hidup,” tambahnya.
Sementara itu, dalam keterangan tertulis yang diterima BBC Indonesia, Korindo menyatakan terkejut atas keputusan FSC dan telah menjalankan langkah yang disepakati dalam peta jalan yang dibuat untuk reasosiasi.
“Hal penting yang perlu dipahami bahwa tidak ada masalah yang serius, hanya terjadi perbedaan prosedur dalam proses pemilihan verifikator independen dan netral yang kemudian menyebabkan penundaan dalam proses asosiasi,” tulis Kwangyul Peck, Chief Sustainability Officer Korindo Group.
Seo Jeongsik, Vice President Korindo Group mengatakan: “Berdasarkan komitmen Korindo yang jelas terhadap ESG [Environmental, Social, and Corporate Governance] dan Keberlanjutan, kami ingin menekankan komitmen bersama antara FSC dan Korindo Group untuk kembali memasuki proses asosiasi sesegera mungkin.
“Tujuan kami tetap untuk menjadi anggota FSC sepenuhnya dan kami akan terus melanjutkan pemenuhan roadmap seperti yang telah ditentukan.”
Greenpeace, yang juga terlibat dalam investigasi bersama BBC, mengatakan keputusan FSC ini tepat.
“Dewan FSC akhirnya sadar dan memutuskan hubungan dengan Korindo – lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali,” ujar Kiki Taufik, kepala kampanye bidang kehutanan Greenpeace Asia Tenggara.
“Meski begitu, pemerintah Indonesia terus memberikan hutan di negara tersebut untuk perusahaan-perusahaan seperti Korindo dan mengizinkan mereka melanggar hak asasi Masyarakat Adat dan komunitas di sekitar lahan operasional tanpa hukuman.
“Sangat penting untuk konsumen dan badan sertifikasi tidak terus membantu mereka menciptakan topeng keberlanjutan dan transparansi,” lanjut Kiki.
BBC tengah mengontak Kementerian Kehutanan untuk menanyakan apakah dengan dicabutnya lisensi ini, Korindo masih dapat beroperasi atau tidak.
Kunjungan BBC ke pedalaman Merauke
Saat laporan investigasi diterbitkan November tahun lalu, Grup Korindo membantah seluruh hasil investigasi, yang mencakup penelitian visual oleh Greenpeace dan Forensic Architecture – di Goldsmith University, Inggris – yang meneliti menggunakan analisis spasial dan arsitektural, serta teknik pemodelan dan penelitian canggih untuk menyelidiki perusakan lingkungan.
Tahun lalu, BBC mengunjungi hutan di pedalaman Merauke, area yang menjadi perkebunan kelapa sawit dan bertemu dengan sejumlah warga Suku Mandobo dan Malind.
Mereka mengatakan secara perlahan mereka kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung.
“Saya menangis, saya sedih kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak cucu, kami jaga hutan ini dengan baik,” tutur Elisabeth Ndiwaen, perempuan Suku Malind yang hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka,” ujarnya kepada wartawan BBC Ayomi Amindoni yang berkunjung ke sana.
Sementara, Petrus Kinggo, ketua marga Kinggo dari Suku Mandobo berkukuh mempertahankan hutan adatnya di Distrik Jair, Boven Digoel, agar tidak dijadikan kebun kelapa sawit.
Dalam kunjungan itu, menurut pengamatan BBC, sejauh mata memandang, pohon kelapa sawit berjajar teratur di area konsesi anak usaha perusahaan Korea Selatan, Korindo Group di Papua.
Konglomerasi perusahaan sawit Korindo menguasai lebih banyak lahan di Papua daripada konglomerasi lainnya.
Perusahaan ini telah membuka hutan Papua lebih dari 57.000 hektare, atau hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan.
Kasus ini bermula pada 2017 – menurut FSC – ketika Mighty Earth mengajukan keluhan kepada FSC terkait dugaan deforestasi Korindo dan juga pelanggaran hak asasi serta hancurnya nilai-nilai konservasi dalam operasi hutan di Indonesia.
FSC mengatakan mengakui komitmen Korindo tahun lalu dalam memenuhi persyaratan awal yang ditetapkan FSC demi keberlangsungan hutan dan masyarakat yang tinggal di seputar.
FSC juga mengatakan mereka menghargai adanya indikasi bahwa Korindo masih memiliki komitmen untuk menunjukkan kemajuan di kemudian hari dan bahwa FSC akan “bekerja dengan Korindo untuk memasuki kembali proses formal bergabung kembali dan mengakhiri langkah pemisahan ini.”
“Proses ini dapat dimulai pada 2022 berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam kebijakan FSC untuk prosedur bergabung kembali, yang saat ini tengah dikembangkan.”
FSC merupakan lembaga sertifikasi hutan untuk memastikan keberlangsungan hutan dan sejauh ini mencakup lebih dari 200 juta hektar hutan di seluruh dunia telah bersertifikasi berdasarkan standard FSC.