JAKARTA, investor.id –Indonesia harus memanfaatkan momentum pemangkasan pajak impor sawit oleh Pemerintah India untuk menggenjot ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke negara tersebut. Pemerintah India memangkas pajak impor sawit hingga 10% menjadi 27,50% dari sebelumnya 37,50%, kebijakan tersebut mulai diberlakukan Jumat (27/11).
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun berpandangan, Pemerintah India ingin menurunkan harga-harga kebutuhan pokok dalam negerinya sehingga harga minyak sawit berusaha dibuat lebih terjangkau, negara itu ingin menyediakan bahan baku bagi industri domestiknya.
Turunnya harga minyak sawit di pasar India akan membuat permintaan dalam negeri negara tersebut lebih besar, hal itu mengingat konsumsi sawit India sempat turun karena pandemi Covid-19 dan persaingan antara minyak goreng dari sawit dan dari minyak nabati lainnya.
“Tentu ini bagi Indonesia adalah suatu hal yang menguntungkan karena ini bisa dimanfaatkan untuk mengekspor CPO lebih banyak,” kata dia saat dihubungi Investor Daily di Jakarta, Jumat (27/11).
Derom menuturkan, India selama ini mengimpor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. Dengan pemangkasan pajak atau bea masuk tersebut tentu Indonesia harus bisa menjaga daya saing agar sawit Indonesialebih dipilih ketimbang sawit Malaysia, daya saing itu di antaranya terkait kepelabuhanan dan pengiriman (pelayaran).
Sesuai hukum pasar, apabila pajak impor dipangkas maka akan mendorong produsen sawit untuk meningkatkan ekspor.
“India saat ini adalah pasar ekspor nomor satu bagi sawit Indonesia, India mengimpor 9 juta ton per tahun, Indonesia menyuplai sekitar 75% atau 6 juta ton dan sebagian lainnya disuplai Malaysia,” ujar Derom.
Selain daya saing, hal yang harus diperhatikan adalah peningkatan promosi. Indonesia harus menyampaikan ke pasar India bahwa sawit tidak hanya untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah tapi juga kelas atas. Promosi hendaknya jangan dianggap sepele, untuk promosi sawit ke India selama ini memang terkendala biaya. Padahal, promosi juga diperlukan untuk mempertahankan India sebagai pasar ekspor nomor satu bagi sawit Indonesia.
“Karena pandemi Covid-19, konsumsi sawit di negara tersebut sempat turun, namun dengan adanya kebijakan pemangkasan pajak impor maka akan naik lagi. Supaya bertahan sebagai pasar nomor satu maka sekali lagi promosi harus digiatkan, terutama promosi untuk meningkatkan kesadaran bahwa minyak goreng dari sawit itu sehat, caranya dengan melibatkan para dokter di India,” kata Derom.
Pemangkasan pajak impor sawit oleh India, kata Derom, juga akan memacu harga CPO di pasar internasional. Apalagi, saat ini India membutuhkan minyak nabati sekitar 26 juta ton namun kemampuan suplai atau produksi dalam negerinya hanya separuh. Kekurangan inilah yang diimpor dari berbagai negara dalam bentuk minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak biji rapa, dan minyak sawit. Belakangan ini, produksi minyak kedelai dari Amerika Selatan agak menurun, produksi Argentina agak tinggi tapi petaninya tidak mau menjualnya.
“Akibatnya, suplai minyak kedelai terbatas di pasar internasional, harga minyak sawit pun terkerek naik, ditambah dengan kebijakan India ini, harga sawit saat ini sudah lebih US$ 800 per ton,” jelas dia.
Dampak Terasa Tahun Depan
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan, kebijakan India jelas sangat menguntungkan bagi Indonesia. Selama masa pandemi saja, ekspor minyak sawit Indonesia ke India masih bisa meningkat 12%.
“Sampai November, pajak impor yang berlaku masih yang lama 37,50%, itu saja ekspor kita ke India masih naik 12%. Berarti dengan penurunan pajak tersebut maka akan semakin meningkatkan ekspor sawit Indonesia ke India. Ketentuan pajak itu berlaku untuk pengiriman Desember, jadi dampaknya bagi Indonesia nanti baru terasa pada tahun depan, mulai Januari itu akan terasa,” jelas Tungkot.
Menurut Tungkot, pasar sawit di India mirip dengan Indonesia, sekitar 70% masyarakat India yang merupakan masyarakat menengah ke bawah lebih doyan sawit. Hal itu terkait kebiasaan diet masyarakat India yang senang dengan gorengan. Sedangkan sisanya adalah masyarakat menengah ke atas yang memilih mengonsumsi minyak kedelai dan minyak rapa.
“Jumlah penduduk India yang 1 miliar itu lebih banyak yang suka sawit karena kebiasaan diet dan harga yang lebih murah. Kalau minyak sawit cocok untuk menggoreng, gantinya mungkin minyak kelapa, kalau minyak kedelai hanya untuk menumis. Artinya, pasar India sangat besar, karena itu India menjadi pasar nomor satu buat sawit Indonesia, di bawahnya baru Eropa dan Tiongkok,” kata dia.
Seperti dilansir www.spglobal. com, Menteri Keuangan India memangkas pajak impor minyak sawit hingga 10% menjadi 27,50% dan berlaku efektif mulai 27 November 2020. Dengan kebijakan itu maka India kemungkinan besar meningkatkan impor sawitnya hingga 100 ribu ton setiap bulannya. Impor minyak sawit India pada Desember 2020 diperkirakan bisa meningkat menjadi 700-730 ribu ton atau naik dari perkiraan sebelumnya yang hanya 550-600 ribu ton.
Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily