RUU Cipta Kerja Berisiko Gagalkan Komitmen Iklim Indonesia

Auto Draft

InfoSAWIT, JAKARTA – RUU Cipta Kerja yang saat ini dipaksakan untuk dibahas oleh Pemerintah dan DPR justru berisiko menjadi blunder bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berisiko menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Dikatakan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, M Teguh Surya, RUU tersebut tidak memiliki urgensi yang tinggi lantaran tidak relevan dengan kompleksitas kondisi ekonomi maupun sosial masyarakat sehingga pembahasannya selayaknya dihentikan.

“Mereformasi tata kelola di sektor sumber daya alam melalui pembentukan UU Pokok Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup serta penguatan KPK harusnya menjadi prioritas pemerintah dan DPR untuk meningkatkan perekonomian nasional, mengingat model ekonomi kita masih bergantung pada ekstraksi sumber daya alam dan miskin inovasi,” katanya dalam Diskusi Online “RUU Cipta Kerja dan risiko terhadap hutan dan iklim Indonesia” pada 15 April 2020.

Lebih lanjut kata dia, dari sisi investasi Indonesia masuk peringkat ketiga di Asia sebagai negara yang paling diminati. Hanya saja korupsi masih menjadi penghambat nomor wahid, inilah akar masalah yang seharusnya dibersihkan terlebih dahulu. Langkah riil yang dapat dilakukan pemerintah bersama dengan wakil rakyat setidaknya dengan menindaklanjuti hasil kajian harmonisasi regulasi untuk reformasi tata kelola sektor sumber daya alam yang disusun KPK, tahun 2018.

“Hasil kajian tersebut kemudian dapat dirumuskan menjadi Omnibus Law Pengelolaan SDA. Urgensinya lebih tinggi dibandingkan dengan RUU Cipta Kerja sebab terdapat tumpang tindih pengaturan pada 26 undang-undang,” kata Teguh.

Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan M. Arief Virgy menyampaikan, bahwa RUU Cipta Kerja berisiko menghambat, bahkan menggagalkan komitmen Iklim Indonesia, khususnya di sektor Kehutanan.

Dari hasil kajian Yayasan Madani Berkelanjutan, ada lima temuan penting mengapa RUU Cipta Kerja dapat menghambat dan menggagalkan komitmen iklim Indonesia. Jika pasal-pasal yang melemahkan aturan perlindungan hutan alam dan lingkungan hidup dalam RUU Cipta Kerja diterapkan, risiko hilangnya hutan alam akan meningkat lebih cepat. Pertama, ada lima provinsi yang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi. Kedua, ada empat provinsi terancam  kehilangan hutan alam di luar PIPPIB (baca; diluar hutan yang telah dilindungi).

Ketiga, kuota deforestasi sebesar 3,25 juta hektare yang tidak boleh terlampaui untuk mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) di sektor kehutanan akan terlampaui pada tahun 2025. Keempat, kesempatan menyelamatkan hutan alam seluas 3,4 juta hektare yang terlanjur berada dalam perkebunan sawit akan hilang. “Serta Kelima, tutupan hutan alam di 45 DAS di Papua Barat pada tahun 2058 terancam turun hingga 0%-20% jika PIAPS dan PIPPIB tidak berhasil dilindungi,” tutur Arief. (T2)