Indonesia termasuk ke dalam salah satu pasar smartphone terbesar di Asia dengan tren perkembangan yang terus naik. Menurut data Pew Research tahun 2019 tentang kepemilikan smartphone, angka orang yang menggunakan ponsel pintar, terutama di kalangan muda, terus meningkat.
Dari anak muda Indonesia usia 18-34 tahun yang disurvei, kepemilikan smartphone naik dari 38% di tahun 2015 menjadi 66% di tahun 2018. Tren ini diramalkan akan terus naik di tahun-tahun ke depan. Kepemilikan ponsel pintar di generasi yang lebih tua juga mengalami kenaikan. Dari responden usia 50+ tahun yang disurvei, diketahui bahwa kepemilikian smartphone naik 11% (2015: 2% dan 2018: 13%).
Indonesia memang pasar ponsel pintar yang besar, namun hingga saat ini peran yang dimainkan oleh anak bangsa hanya sekadar menjadi konsumen.
Hal inilah yang ingin diubah oleh peneliti muda LIPI, Amanda Septevani. Ahli kimia lulusan Australian Institute for Bioengineering and Nanotechnology itu kini mengembangkan layar alat elektronik dari limbah biomassa.
Layar yang dikembangkan dengan teknologi nanoselulosa (transformasi kandungan pada tumbuhan setelah melalui proses teknologi nano) itu memiliki banyak keunggulan dibandingkan layar alat elektronik konvensional.
“Jadi penelitian ini sebenarnya terinspirasi dari kegiatan yang biasa saya lakukan saat saya studi S3 di Australia. Jadi, pada saat di Australia saya juga mengembangkan material yang sama, yaitu nanoselulosa […] yang berasal dari rumput-rumput liar yang ada di Australia. Tapi ketika saya pulang tentunya tidak relevan. Oleh karena itu saya berusaha memikirkan aplikasi lain”, jelas Amanda.
Dari limbah kelapa sawit
Layar alat elektronik yang diciptakan oleh peneliti kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini memiliki substrat dari biomassa yang diperoleh dari limbah pertanian dan perkebunan. Sumber limbah yang ia gunakan sebagai bahan substrat adalah tandan kosong kelapa sawit. Meski demikian limbah pertanian lainnya seperti tongkol jagung dan serat kenaf juga punya potensi.
Lalu, apa keunggulan layar alat elektronik yang dikembangkan Amanda jika dibandingkan dengan layar smartphone konvensional?
“Saat ini layar elektronik itu pada dasarnya didominasi dari substrat yang berasal dari gelas. Substrat yang berasal dari gelas ini tentunya […] akan mudah sekali retak. Penelitian yang kita kembangkan […] berasal dari nanoselulosa. Kemudian dari nanoselulosa ini […] jadi lapisan tipis. Kita ultrafiltrasi kemudian kita hotpress, kita keringkan jadi lapisan tipis yang sifatnya jadi lebih fleksibel. Karena sifatnya lebih fleksible, tentunya harapannya ketika nanti bisa diaplikasikan ke layar elektronik, dia akan bisa menjawab tantangan dari masalah (layar) yang mudah pecah tadi,” jelas Amanda lebih lanjut.
Selain unggul pada aspek daya tahan, layar elektronik Amanda juga memiliki proses yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Meskipun saat ini juga banyak penelitian yang berusaha mencari substrat lainnya, tapi mereka masih didominasi dari substrat polimer yang berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Kita berusaha mengkaji juga bagaimana caranya supaya kita dapat sumber lain yang dapat diperbaharui, yaitu dari limbah-limbah yang ada di Indonesia.”
Dukungan penuh LIPI
Penelitian Amanda ini memiliki nilai ekonomis dan menyumbang inovasi di bidang kimia. Oleh karenanya LIPI, melalui Pusat Penelitian Kimianya, mendukung penuh pengembangan penelitian Amanda. Yenny Meliana, Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI menyatakan bahwa LIPI sangat mendukung riset dari peneliti muda.
“Untuk penelitian Amanda tentang teknologi nanoselulosa yang diaplikasikan sebagai perangkat layar elektronik, ide awalnya memang dari Amanda sendiri, studinya tentang nanoselulosa. Kita di Indonesia memang banyak mempunyai bahan baku dari tandan kosong kelapa sawit. Jadi Amanda berusaha memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit agar lebih bernilai ekonomis. Dan kita LIPI sangat mendukung riset yang dilakukan generasi muda peneliti seperti Amanda ya. Jadi kita membantu dengan men-support infrastruktur,” jelas Yenny
Menjadi peneliti seperti Amanda berarti berkutat dari hari ke hari di laboratorium kimia. Namun itu hanyalah sebuah proses yang rela dilewati oleh tiap peneliti demi mencapai tujuan akhir: hasil penelitian yang berguna dan diaplikasikan di masyarakat. “Hal terindah buat peneliti itu adalah saat penelitiannya itu dipakai orang, saat penelitiannya itu berhasil. Jadi semua itu akan terbayarkan saat produk kita itu berhasil dan bisa diaplikasikan di masyarakat,” ungkap Amanda.
Kepada peneliti perempuan Indonesia, Amanda memiliki pesan. “Saya harap kita tidak membatasi diri kita, ruang gerak kita dalam memberikan suatu kontribusi terhadap perkembangan inovasi di indonesia. Saya percaya bahwa perempuan peneliti di Indonesia semuanya memiliki kapasitas dan capability yang bagus untuk bisa maju dan bisa bersaing di dunia internasional.”
(na/yp)