Koalisi Buruh Sawit: Hilangkan Diskriminasi Buruh Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit

Auto Draft

InfoSAWIT, JAKARTA – Industri sawit  di Indonesia sampai sejauh ini terus menjadi sorotan dari berbagai pihak. Koalisi Buruh Sawit menemukan, praktik kerja eksploitatif di perkebunan sawit sudah berlangsung lama. Buruh perkebunan sawit bekerja dalam sistem kerja eksploitatif, tanpa jaminan kepastian kerja, tanpa jaminan kepastian upah, beban kerja yang berat, serta tanpa jaminan sosial yang memadai.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware mengatakan, korban utama dari sistem kerja eksploitatif di perkebunan sawit adalah perempuan. Perempuan yang bekerja di perkebunan sawit dianggap tidak ada, padahal buruh perempuan mengerjakan hampir setiap jenis pekerjaan di perkebunan sawit.

Sementara Ridho dari Serikat Buruh Perkebunan Indonesia mengatakan, kondisi eksploitatif yang dihadapi buruh perempuan di perkebunan sawit sudah berlangsung lama.

Merujuk catatan Koalisi Buruh Sawit, setidaknya 60% dari total jumlah buruh perkebunan sawit adalah perempuan. “Dari jumlah 60 % tersebut, sebagian besar adalah buruh prekariat, buruh perempuan yang bekerja tanpa mendapatkan hak-hak permanen sebagai buruh, tanpa kepastian kerja, tanpa dokumentasi perikatan kerja, upah minim, dan tanpa perlindungan kesehatan memadai. Kami melihat ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap buruh perempuan,” kata Inda dalam keterangan resmi yang diterima InfoSAWIT belum lama ini.

Berdasarkan investigasi yang dilakukan Koalisi Buruh Sawit di sejumlah perkebunan sawit di Indonesia menemukan fakta bahwa pemanfaatan buruh dengan status precariat terjadi pada pekerjaan perawatan. Perempuan dipekerjakan sebagai buruh harian lepas (BHL) dan kontrak sampai belasan tahun. Perempuan dipekerjakan untuk melakukan penyemprotan, pemupukan, pembersihan areal, mengutip berondolan, dan pekerjaan lainnya yang ironisnya, tidak dianggap sebagai pekerjaan inti di perkebunan sawit. “Tidak ada kepastian bahwa mereka akan bekerja besok dan juga tidak ada kepastian memperoleh upah. Jelas bahwa kondisi ini merupakan pelanggaran terhadap hak buruh atas kepastian kerja dan upah,” kata Ridho.

Sebab itu Koalisi Buruh Sawit meminta pemerintah Indonesia untuk menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak. Regulasi perburuhan di Indonesia masih lemah dalam hal melindungi buruh perkebunan sawit. Regulasi perburuhan Indonesia yang ada tidak dapat mengakomodasi situasi kerja di perkebunan sawit.

“Oleh karena itu, Koalisi Buruh Sawit meminta pemerintah menetapkan kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit. Diskriminasi dan kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit harus dihentikan,” tandas Koordinator Koalisi Buruh Sawit, Zidane. (T2)