UE Belum Akui ISPO, Pengusaha Sawit Butuh Lobi Bilateral Pemerintah

UE Belum Akui ISPO, Pengusaha Sawit Butuh Lobi Bilateral Pemerintah

Uni Eropa belum mengakui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Untuk itu, pelaku usaha dan industri di sektor kelapa sawit menantikan lobi bilateral pemerintah ke negara-negara anggota Uni Eropa.

JAKARTA, KOMPAS — Uni Eropa belum mengakui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO yang dapat menjadi salah satu bukti tata kelola kelapa sawit berkelanjutan bagi konsumen di tingkat internasional. Oleh sebab itu, pelaku usaha dan industri di sektor kelapa sawit menantikan lobi bilateral pemerintah ke negara-negara anggota Uni Eropa.

Climate Change and Environment Counsellor-Delegation of the European Union to Indonesia Michael Bucki mengatakan, agar ISPO mendapatkan pengakuan di Uni Eropa (UE), negara-negara anggota UE mesti mengajukannya ke Komisi UE. Sebab, UE belum mengakui sertifikasi yang berskema kebijakan pemerintah seperti ISPO.

Saat ini, UE mengakui sertifikasi produk kelapa sawit dengan skema sukarela. Misalnya, International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) yang khusus untuk sertifikasi produk biodiesel dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk produk kelapa sawit.

”Meskipun demikian, UE tetap terbuka untuk mendiskusikan sertifikasi yang berdasarkan kebijakan pemerintah, seperti ISPO dan MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil). Terutama, UE ingin membuka dialog berbasis riset terkait sertifikasi tersebut,” kata Bucki dalam Paparan Media tentang Pandangan UE terhadap Kelapa Sawit Indonesia, di Jakarta, Kamis (5/9/2019).

UE tetap terbuka untuk mendiskusikan sertifikasi yang berdasarkan kebijakan pemerintah, seperti ISPO dan MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil). Terutama, UE ingin membuka dialog berbasis riset terkait sertifikasi itu.

Menurut Bucki, UE akan mempertimbangkan efektivitas penerapan sisi keberlanjutan tata kelola kelapa sawit dalam dokumen Arah Energi Terbarukan (RED) II UE pada 2021-2023. Dia juga mengapresiasi kebijakan moratorium terhadap lahan kelapa sawit nasional.

”UE juga akan melihat realisasi peningkatan produktivitas lahan kelapa sawit. Peningkatan produktivitas jauh lebih baik dibandingkan ekspansi lahan dalam memenuhi permintaan produk minyak kelapa sawit,” katanya.

Dalam setahun terakhir, sejumlah kebijakan UE berdampak pada kinerja perdagangan produk kelapa sawit nasional. Salah satu kebijakan itu adalah dokumen RED II UE. Dokumen itu menggolongkan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit ke kelompok berisiko tinggi terhadap deforestasi.

Badan Pusat Statistik mencatat, produk minyak kelapa sawit menempati posisi tiga teratas sebagai komoditas ekspor nasional unggulan. Namun, nilai ekspornya sepanjang Januari-Juli 2019 turun 18,74 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengemukakan, belum adanya pengakuan ISPO menunjukkan UE belum menghargai usaha Indonesia memperbaiki sisi keberlanjutan tata kelola kelapa sawit. Hal ini turut berdampak pada citra kelapa sawit Indonesia di pasar UE.

Untuk itu, pemerintah perlu segera melobi negara-negara anggota UE secara bilateral agar ISPO mendapatkan pengakuan di pasar UE. ”Hambatan ini dapat diselesaikan di tingkat diplomasi perdagangan bilateral. Diplomasi bilateral bertujuan untuk mengamankan kepentingan Indonesia,” ujarnya.

Belum adanya pengakuan ISPO menunjukkan UE belum menghargai usaha Indonesia memperbaiki sisi keberlanjutan tata kelola kelapa sawit.

Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Perekonomian Rizal Affandi Lukman menyatakan, pemerintah akan menjajaki lobi bilateral ke negara-negara anggota UE untuk promosi ISPO. Langkah ini berbarengan dengan penguatan ISPO di dalam negeri.

Pengaturan ISPO tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 tentang ISPO. Aturan ini menyatakan, salah satu dasar lahirnya ISPO ialah penyelenggaraan pembangunan perkebunan yang berasaskan kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan.

Hingga akhir Agustus 2019, Sekretariat Komisi ISPO telah menerbitkan 566 sertifikat ISPO kepada 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 koperasi unit desa plasma. Adapun sertifikasi ISPO tersebut mencakup lahan seluas 5,18 juta hektar.

Permintaan pasar

Kuasa Hukum Ad-Interim UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Charles-Michel Geurts menyatakan, UE tetap membutuhkan minyak kelapa sawit Indonesia. Pasar UE bersifat terbuka di bidang perdagangan.

Permintaan di pasar UE saat ini digerakkan oleh preferensi konsumen. ”UE adalah pasar yang stabil untuk minyak kelapa sawit Indonesia. Kami tidak pernah menyatakan larangan perdagangan terkait produk minyak kelapa sawit tersebut,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Geurts, konsumen UE tengah menyoroti penerapan prinsip keberlanjutan lingkungan dalam produk-produk yang dikonsumsi. Oleh sebab itu, dia berharap, Indonesia aktif mempromosikan dan mengampanyekan sisi keberlanjutan dari produk kelapa sawit.

kompas.id
6 September 2019
Oleh MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/09/05/ue-belum-akui-ispo-pengusaha-sawit-butuh-lobi-bilateral-pemerintah/