Jangan Mau Diadu Domba; Perusahaan dan Petani Adalah Mitra

“Devide et impera” atau “adu domba” bukanlah strategi yang luar biasa, tetapi kebodohan yang luar biasalah yang membuatnya sukses diterapkan di nusantara.

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1998 hanya sekitar 2,7 juta hektar. Pada Desember 2019, dalam kurun waktu 20 tahun, telah berkembang 6 kali lipat hingga mencapai 16,381 juta hektar. Rinciannya, perkebunan besar seluas 9,66 juta hektar dan perkebunan sawit rakyat 6,71 juta hektar (41%).

Seiring dengan perluasan perkebunan, produksi minyak sawit pun mengalami peningkatan hingga 9,25 kali lipat dari 5,6 juta ton pada tahun 1998 menjadi 51,8 juta ton pada tahun 2019.

Perkembangan yang luar biasa ini terjadi hanya dalam kurun waktu 20 tahun, dan merupakan perkembangan yang berkualitas, karena:

  1. Terjadi oleh inisiatif dan kreatifitas swasta, pengusaha (perusahaan perkebunan) bersama-sama dengan masyarakat (petani pekebun kelapa sawit).

Bandingkan dengan periode sebelumnya, antara 1969–1997, selama 28 tahun, Indonesia menghabiskan anggaran pemerintah yang sangat besar (termasuk pinjaman dari Bank Dunia / PBSN) namun hanya mampu membangun 2,8 juta hektar perkebunan kelapa sawit dengan produksi hanya mencapai kisaran 5,6 juta ton CPO. Itu pun sudah termasuk perkebunan yang dinasionalisasi dari pihak Belanda di era-1950an!

  1. Swasta berperan penting mengembangkan industri hilir (oleo pangan, oleo kimia hingga bio diesel) yang berhasil meningkatkan penyerapan CPO, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan permintaan. Jika tanpa peningkatan permintaan oleh pasar, tidak mungkin ada perkembangan kebun sawit.

Pengembangan industri hilir ini pun dilakukan dengan inisiatif dan kreatifitas swasta, tanpa fasilitas atau kemudahan dari pemerintah. Malah sebaliknya, banyak hambatan dan tantangan, finansial dan non finansial, teknis dan non teknis, yang mesti diselesaikan sendiri dengan kreatifitas swasta.

  1. Perusahaan swasta berperan penting dalam investasi usaha pembibitan kelapa sawit. Ini tidak mudah dan tidak murah serta beresiko tinggi. Perusahaan swasta bahkan mengusahakan pemuliaan tanaman kelapa sawit dengan menelusuri dan mencari pohon induk kelapa sawit hingga ke negeri asalnya di Afrika Barat. Demi menghasilkan bibit sawit yang lebih produktif. Dengan luas lahan yang sama bisa menghasilkan minyak sawit lebih banyak.

Dibutuhkan waktu bertahun-tahun dan biaya yang sangat mahal untuk melakukan riset dan membangun kebun percobaan, plus waktu beberapa tahun untuk menunggu dan membuktikan hasilnya, hingga bibit baru yang lebih produktif boleh dikembangkan.

Sebagai resultan, kita bisa bandingkan data di atas. Luas lahan perkebunan bertambah 6 kali lipat namun produksi meningkat bukan hanya 6 kali lipat melainkan jauh lebih besar yaitu hingga 9,25 kali lipat!

Inilah buah dari pengembangan pembibitan yang diupayakan oleh perusahaan swasta. Ke depan tentunya produktivitas akan semakin tinggi, dengan semakin banyaknya bibit berkualitas yang mencapai usia produktif dan semakin banyaknya bibit berkualitas yang ditanam untuk menggantikan pohon yang produktifitasnya rendah (termasuk melalui program Peremajaan Sawit Rakyat / PSR).

  1. Dalam berinisiatif mengembangkan usaha perkebunannya, perusahaan swasta juga melibatkan masyarakat, dengan berbagai pola / skema yang kreatif, juga dengan modal masing-masing tanpa mengharapkan dana dari pemerintah. Inilah yang memungkinkan perluasan perkebunan sawit rakyat yang kini mencapai 6,71 juta hektar (41%).  Hal ini juga dimungkinkan oleh semangat dan kreatifitas petani di berbagai daerah yang berani menerima tantangan dan mau bersusah payah mengolah alam sehingga menjadi perkebunan.
  1. Perusahaan swasta juga berinisiatif membangun jaringan pemasaran di seluruh dunia, membangun kerja sama dengan negara-negara pembeli potensial (seperti India, Pakistan, China) dan negara-negara dalam kawasan.

Inisiatif ini bertujuan meningkatkan permintaan pasar internasional terhadap minyak sawit, demi mempertahankan kestabilan harga, sekaligus juga demi mempertanggungjawabkan pertumbuhan dan pengembangan industri minyak sawit, termasuk pertanggungjawaban kepada petani yang telah dilibatkan, ikut serta membangun industri.

Perlu diingat, bahwa usaha memperluas pemasaran ini dilakukan ditengah berbagai hambatan dan tantangan yang semakin menguat sesudah tahun 2000, melalui aksi kampanye negatif, kampanye hitam, hingga diskriminasi dan berbagai rupa rintangan terhadap pemasaran minyak sawit, khususnya di Eropa dan Amerika dan umumnya di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Jika tanpa inisiatif memperluas pemasaran, dengan hebatnya serangan bertubi-tubi terhadap minyak sawit, nasib CPO mungkin menjadi sama seperti kantong plastik, diciptakan, diproduksi massal, digunakan di seluruh dunia, ternyata kemudian diprotes, dan kini: dilarang!

Menurut sejarahnya, kelahiran perkebunan besar swasta nasional adalah buah dari kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto yang melibatkan perusahaan swasta mengembangkan perkebunan dengan pola PIR.

Tujuannya untuk pemerataan pembangunan ekonomi di luar Pulau Jawa dan mendukung program transmigrasi dari Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Dengan demikian, perkebunan besar dan petani memiliki sejarah yang sama, yang saling berkaitan karena hidup dalam industri yang sama, dan tentunya tujuan yang sama.

Tidak ada perkebunan besar jika tidak ada petani dan sebaliknya tidak ada petani jika tidak ada perkebunan besar. Negara tidak akan mampu membangun kebun plasma tanpa peran serta perusahaan swasta. Sejarah sudah membuktikan.

Bahkan sekalipun jika suatu saat petani mampu membangun industri pengolahan, petani tetap membutuhkan perusahaan besar sebagai mitra usahanya, untuk sinergi memanfaatkan jaringan kerja yang telah dibangun perusahaan-perusahaan swasta di seluruh dunia.

Mengembangkan industri hilir tidak mudah dan tidak murah. Dari mulai perizinan hingga pemasaran penuh hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan. Ada berbagai ketidakpastian di masa depan.

Demikian halnya dengan bio diesel. Setelah dicanangkan oleh Presiden Jokowi dengan didukung oleh warga dengan gegap gempita, tentu pemerintah harus berkomitmen mendukung pengembangannya.

Apa jadinya, jika setelah dicanangkan ternyata program bio diesel malah mandeg karena kurang dukungan dari pemerintah? Musuh-musuh akan menertawakan!

Seperti halnya petani yang tidak bersedia rugi, pengusaha – yang kerap berhutang ke bank demi mengembangkan usahanya – pun tidak mungkin dirugikan demi mensukseskan program bio diesel Indonesia.

Fasilitas – kalau pun ada – yang diterima oleh sebagian pengusaha dalam rangka mengembangkan industri, adalah hal wajar yang terjadi di mana saja.

Mitsubishi, Toyota dan berbagai raksasa industri lainnya, adalah buah kebijakan pemerintah Jepang mengembangkan industrinya sejak sebelum hingga pasca perang dunia kedua.

Boeing, Lockheed Martin, dan raksasa industri penerbangan lainnya adalah buah kebijakan pemerintah Amerika dalam rangka menghadapi perang dunia kedua. Seperti halnya Volkswagen, Mercedes dan perusahaan Jerman lainnya yang tumbuh dan berkembang atas kemauan Adolf Hitler demi mensukseskan German Uber Alles.

Alangkah baiknya jika para pemangku kepentingan bisa duduk bersama membicarakan persoalan-persoalan yang dirasakan menjadi ganjalan dalam kerja sama mengembangkan industri tempat kehidupan bersama ini.

Janganlah sesama kita saling menyalahkan atau saling memperolok, sebab perusahaan perkebunan dan petani adalah mitra, bukan pesaing.

Yang jadi pesaing kita adalah negara lain, produsen minyak nabati lain, yang berada di belakang kampanye negatif, kampanye hitam dan diskriminasi terhadap minyak sawit.

Pemerintah, melalui kementerian yang terkait dan BPDPKS, sebaiknya turun tangan untuk merangkul para pemangku kepentingan dan duduk bersama guna membangun kerja sama yang lebih harmonis dan selaras dengan mengedepankan dialog dalam menyelesaikan keluhan / permasalahan. Dengan demikian kebijakan pemerintah akan meraih dukungan yang lebih besar dari semua pihak.

(Disclaimer: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis)